Dark/Light Mode

Runtuh, Benteng Terakhir Penegakan Hukum Indonesia 

Sabtu, 12 November 2022 06:30 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Simaklah secara cermat bunyi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berasa di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”Hal ini berarti Mahkamah Agung merupakan kekuasaan peradilan tertinggi, memiliki kewenangan tertinggi diantara semua lembaga peradilan di negara kita.

Di Amerika Serikat, M.A. disebut supreme court beranggotakan 9 orang. Anggota M.A. Amerika Serikat ditunjuk oleh Presiden Amerika Serikat dan dikonfimasi (disahkan) oleh Senat Amerika Serikat melalui hearing yang amat ketat sesuai klausal pengangkatan dalam Pasal II Konstitusi Amerika Serikat.        

Di negara kita, 9 Hakim Agung juga ditetapkan oleh Presiden R.I. dari nama-nama yang diajukan oleh DPR.RI atas usul Komisi Yudisial. Pasal 24A ayat (2) mensyaratkan “Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum.”  Apakah persyaratan ini dijalankan secara ketat, sebagaimana mestinya, jika ada Hakim-Hakim Agung dalam menjalankan tugasnya ternyata rontok moralnya, tergoda oleh iming-iming duit? Siapa sesungguhnya yang salah dalam hal ini? Yang salah, ya, yang memilihnya: dari mulai Komisi Yudisial, para wakil rakyat di DPR-RI dan Presiden R.I. bukan?

Baca juga : Rezim Impor Beras Kembali Lagi?

Keterlibatan DPR-RI dalam proses penetapan Hakim Agung menjadikan DPR – lembaga politik – sangat berpengaruh. Kasak-kusuk bisa saja terjadi untuk kepentingan partai atau kepentingan sempit. Di AS, faktor-faktor ini sangat minimal. Integritas dan moralitas para anggota Komisi Yudisial umumnya tidak diragukan dan bekerja sungguh professional. Beberapa waktu yang lalu, mereka “mengadili” seorang calon Menteri Pertahanan. Berhari-hari dicecar sang calon oleh Senat; belakangan terungkap bahwa calon Menhan usulan dari Presiden di masa lalu pernah melakukan pelecehan seksual dengan seorang perempuan di dalam lift. Calon Menhan itu tidak berdaya menghadapi cecaran pertanyaan investigatif, akhirnya mengaku, dan tamatlah kariernya.     

Selama lembaga legislatif kita berdiri, sekali pun tidak pernah kita menyaksikan pemeriksaan yang begitu sungguh-sungguh terhadap calon pejabat tinggi, apalagi petinggi lembaga penegakan hukum. Tidak pernah.            

Kelemahan kedua M.A. kita menurut Prof Gayus Lumbuun yang pernah menjabat Hakim Agung, pemeriksaan kasus di tingkat kasasi tidak pernah transparan, tapi sangat tertutup. Sistem ini harus diubah, harus terbuka, lagi-lagi seperti yang terjadi di AS. Publik harus punya akses untuk mengikuti proses peradilan kasasi sehingga publik bisa mengawasi, permainan pat-gulipat, termasuk “main sogokan” pasti tidak bisa.           

Baca juga : Bravo Pupuk Kaltim

Kapan Mahkamah Agung dan instansi penegakan hukum kita khususnya Polri – bisa dirombak/direformasi sedalam-dalamnya sehingga “Hukum sebagai barang dagangan” tidak punya akses sama sekali, sehingga “Langit Indonesia takkan runtuh” dalam artian yang serius?            

Prof. Mahfuf MD sebagai Menko Polhukam, sebagai pakar Hukum Tata Negara, harus menjawab sekaligus berikhtiar sungguh-sungguh untuk melaksanakannya.          

Jangan lupa, penegakan hukum yang memble, dan mudah dibeli dengan uang, merupakan salah satu ciri/indikasi, dari  failed state, negara gagal di seluruh dunia. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.