Dark/Light Mode

NKRI Bersyariah, Tolak !

Rabu, 14 Agustus 2019 07:21 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Seperti biasa, keras sekali pernyataan Menhan kita. Tampaknya, dia sudah jengkel dan muak dengan pihak-pihak yang masih terus berupaya menggoyang-goyang Pancasila.

Mereka yang ingin mengganti Pancasila dicap “pengkhianat bangsa, pengkhianat terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pengkhianat terha- dap negara ini!”

Pernyataan Ryamizard, menurut hemat saya, dilatarbelakangi dengan kian meningkatnya gerakan radikalisme dan terorisme di negara kita, termasuk di kalangan anak muda.

Dalam pidatonya, Menhan juga menyinggung soal “NKRI Syariah”. Ia mencibir gagasan itu. “Apa itu NKRI Syariah? Saya tidak tahu..... aneh-aneh. NKRI ya NKRI, jangan ditambahkan macam-macam.”

Baca juga : Keamanan Papua Bukan Tanggung Jawab TNI Saja!

Dalam jarak yang hanya beberapa meter, duduk pula Haikal Hassan, Ketua PA 212. Seolah ingin “meluruskan” apa yang tertulis dalam Butir 3.6 Kesepakatan Ijtimah Ulama, kepada wartawan yang hadir, Haikal seperti menjelaskan apa sesungguhnya makna “NKRI Syariah”, yaitu “NKRI Syariah yang dimaksudkan di situ ialah tetap taat pada Allah SWT dengan tetap menjadi bangsa Indonesia.”

KH. Salahudin Wahid menangkis lantang: “Tidak perlu ada istilah NKRI bersyariah, karena syariat Islam tetap jalan di Indonesia selama ini.

Tanpa istilah NKRI bersyariah, jalan kok syariah Islam. Jadi, tidak perlu ada istilah itu!” Jika kita simak secara sak- sama kata-kata dalam Butir 3.6 pada Kesepakatan Ijtimah Ulama IV, yaitu “Mewujudkan NKRI yang bersyariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi”, maknanya sebetulnya jelas gamblang.

Prinsip ”ayat suci di atas ayat konstitusi” berarti hukum tertinggi di negara kita (dalam versi NKRI Bersyariah) adalah ayat-ayat suci. Bukankah ketentuan ini menjadi ciri pokok “Negara Agama”?

Baca juga : Habis Caci Maki, Terbit Mimpi Kursi

Dalam buku teks disebutkan negara agama (Islam) adalah “Countries which recognize Islam as their official religion”, juga menjadi hukum tertinggi di negara yang bersangkutan.

Dalam negara agama, pimpinan nasional tertinggi bukanlah Presiden atau Perdana Menteri, melainkan pimpinan tertinggi agama.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum tertinggi adalah UUD 1945 yang Pembukaannya berisi butir-butir Pancasia dan batang tubuhnya berisi penjabaran dari sila-sila Pancasila.

Indonesia bukan negara agama. Negara secara resmi mengakui eksistensi 6 (enam) agama, memberikan hak dan kewajiban sama kepada para pemeluk ke-6 agama itu; tidak ada yang dianak-emaskan, juga tidak ada yang boleh didiskriminasikan.

Baca juga : Mendesak, Pelibatan TNI Mengatasi Terorisme

Oleh sebab itu, Pancasila, NKRI dan UUD 1945 sudah final, hasil kesepakatan sakral dari para pendiri bangsa. Setiap kali kita terjebak dalam keributan mengenai kesepakatan sakral para founding fathers kita, maka pada saat itu juga Pancasila seperti hendak dikoyak-koyak.

Karena Pancasila adalah perekat bangsa seperti ulang-ulang ditegaskan oleh Menteri Pertahanan, maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia pasti kembali akan retak atau terancam manakala eksistensi dan kesakralan Pancasila diobok- obok lagi. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.