Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
RM.id Rakyat Merdeka - Puncak perjuangan hijrah manusia ialah hijrah dari manusia bumi menjadi manusia langit. orang-orang yang terkurung di dalam kolom tempurung bumi matrealistis sulit menembus langit.
Hampir semua agama dan kepercayaan berisi ajaran untuk mengangkat martabat manusia dan kemanusiaan dari bumi kesederhanaan ke langit kemuliaan.
Orang yang tidak berusaha untuk hijrah termasuk manusia paling rugi. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Alangkah ruginya seseorang jika hidupnya hari ini sama saja dengan hari kemarin.
Manusia mulia ialah yang berani hijrah meninggalkan tempatnya semula ke tempat yang lebih mulia. Inilah yang dimaksud dalam tulisan ini hijrah ke langit.
Ujung dari perjuangan nabi Muhammad SAW ialah untuk mengangkat manusia yang tercebur di bumi menuju ke kampung asalnya di langit.
Dalam drama kosmos sudah diperkenalkan manusia sesungguhnya pada mulanya makhluk langit (surga) tetapi karena kekhilafannya maka ia jatuh ke bumi.
Baca juga : Deradikalisasi Makna Hijrah
Kehadiran manusia di bumi sudah melalui proses panjang. Manusia semula berasal dari langit kemudian turun (tanazul) ke bumi. Selanjutnya akan menempuh proses kembali naik (taraqqi) ke langit.
Inilah yang dimaksud firrman Allah: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” (Q.S. Al-Baqarah/2:156). Drama kosmos turunnya manusia dari langit ke bumi dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 30-39.
Sedangkan proses manusia kembali ke langit dijelaskan dalam beberapa ayat secara terpisah, antara lain: “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya” (Q.S Al-Sajadah/32:5).
Para Nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw, berusaha mengembalikan posisi manusia di langit dengan berbagai petunjuk yang dibawanya. Manusia bumi (Al-Insan Alardhy) masih berkutat untuk memikirkan secara mikro wujud keberadaan yang ada di sekitarnya.
Berbeda dengan manusia langit (Al-Isan Al-Samawy) sudah sampai kepada ma’rifah bahwa yang tampil dalam berbagai bentuk dalam alam raya ini ternyata tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Sang Maha Satu (Al-wahid) dan Sang Maha Esa (al-Ahad).
Ciri-ciri manusia bumi ialah mereka yang masih terperangah dengan pluralitas alam semesta. Mereka sibuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pluralitas alam semesta.
Baca juga : Memahami Asal-usul Kalender Hijriyah (2)
Mereka yang masih banyak tersedot energinya untuk melakukan penyesuaian diri dengan pluralitas dan corak kehidupan yang ada di sekitarnya. Bahkan sebagian lainnya sibuk mengejar bayang-bayang fatamorgana kehidupan.
Identitas dari berbagai entitas begitu banyak rupa dan coraknya, maka mereka sibuk mencari di mana posisi terbaik untuk menjalani kehidupan ini.
Mereka yang dihadapkan dengan berbagai pilihan yang sulit untuk dipilih. Mereka sering dibingungkan oleh berbagai nilai yang berhadap-hadapan satu sama lain.
Mereka sering kecewa ketika mereka salah pilih dan pilihannya berujung dengan kejatuhan atau kekecewaan. Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dalam waktu bersamaan sehingga mereka seperti tidak pernah merasakan ketenangan hidup.
Di antara mereka ada yang merasa 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, dan 12 bulan setahun terlalu cepat, begitu padatnya program yang sudah disetting ke dalam kepala mereka.
Sementara yang lain ada yang merasakan kebalikannya, roda perputaran waktu ini terlalu lama baginya.
Baca juga : Berkah Kota Suci Mekkah
Ada yang meraih keuntungan dengan cara-cara yang wajar, sebagian lainnya dengan menghalalkan segala cara. Inilah hiruk pikuk kehidupan di bumi. Sebaliknya manusia langit sudah melewati fase kehidupan ramai dan pluralisme itu.
Ia sudah mampu menyaksikan bahwa ternyata yang banyak ini tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Sang Dia Yang Maha Tunggal.
Jika orang sudah menjadi manusia langit, tidak perlu lagi tersedot energinya untuk memperhadap-hadapkan dan mempertentangkan satu fenomena dengan fenomena lain, karena keseluruhan wujud adalah Sang Dia.
Inilah yang dikatakan dalam Al-Qur’an: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah/2:115). Ini pula arti Allah Swt sebagai Tuhan Maha Meliputi (Al-Muhith). ***
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya