Dark/Light Mode

Agama Negara, Negara Agama dan Negara Sekuler

Jumat, 15 Mei 2020 08:07 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Ada kasus menarik di Perancis. Ketika Presiden Perancis, Jacques Rene Chirac, menyatakan pembebasan sekolah dari simbol-simbol agama seperti jilbab, kippa, dan tanda salib, dengan alasan Perancis adalah negara sekuler, bukan negara agama atau memiliki agama resmi tertentu, maka langsung memicu protes keras di dalam masyarakat, terutama kalangan opposisi yang ingin memanfaatkan suara imigran muslim di Perancis.

Fenomena jilbab bukan lagi fenomena agama tetapi sudah menjadi trend dan pilihan sadar yang sesuai dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, Chirac kembali menuai protes ketika ia memberikan pernyataan belasungkawa berlebihan ketika wafatnya Paus Johannes Paulus II dan ia sendiri memimpin rombongan besarnya datang menghadiri pemakaman Paus di Roma.

Kalangan opposisi menyerang Chirac dengan alasan yang sama: Perancis negara sekuler. Mengapa Chirag melarang penggunaan jilbab dan simbol agama lainnya tetapi pada sisi lain memberikan apresiasi besar terhadap kematian Paus, yang notabene seorang pemimpin agama tertentu, bukan pemimpin nation state.

Baca juga : Apa Itu Guluw?

Ini suatu bukti perdebatan konseptual antara agama dan negara di dalam setiap negara selalu menjadi masalah aktual, apalagi pada negara yang dipadati oleh salah satu penganut agama tertentu.

Tema perdebatan yang sering muncul pada setiap negara ialah apa definisi dan persepsi negara tentang agama, dan apa definisi dan persepsi agama tentang negara; siapa yang berhak mendefinisikan agama dan negara; siapa yang menentukan kriteria sebuah agama atau bukan agama; sampai kepada perdebatan filosofis tentang apa sesungguhnya substansi agama, apakah wacana itu betul-betul murni ajaran agama atau hanya interpretasi agama?

Seberapa jauh agama harus mencampuri urusan negara dan seberapa jauh pula negara harus mencampuri urusan agama?

Baca juga : Antara Ajaran Islam dan Budaya Arab

Agama dalam suatu negara tidak selamanya tampil sebagai faktor independen. Agama sering tampil secara dependen terhadap negara dan bahkan agama terkadang menjadi alat legitimasi para penguasa.

Persoalan akan menjadi lebih rumit jika persepsi ”negara” yang dianut oleh suatu bangsa (baca: Penguasa) mengikuti pola Hegel (17761831) yang menganggap negara sebagai penjelmaan jiwa mutlak, dan dalam upaya mencapai tujuannya tidak peduli harus mengorbankan maslaha maslahat pribadi.

Seolah-olah negara mempunyai bahasa sendiri, budipekerti sendiri, pikiran sendiri, bahkan nilai-nilai agama sendiri. Bagi Hegel, negara adalah tujuan, bukan cara. Pribadi, keluarga dan masyarakatlah yang menjadi cara. Atas dasar ini Hegel menyusun falsafah nasionalisme, dimana loyalitas seseorang adalah untuk negara nasional yang teresusun di atas kondisi obyektif suatu bangsa.***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.