Dark/Light Mode

Peluncuran Buku Agus Sudibyo Dihadiri Ketua DPR

Bagir, Marzuki dan Pabotinggi Membedah Kedaruratan

Rabu, 26 Juni 2019 11:42 WIB
Ketua DPR Bambang Soesatyo menerima buku Demokrasi dan Kedaruratan, Memahami Filsafat Politik Giorgia Agamben dari penulisnya sendiri, Agus Sudibyo (kanan), di Gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin. Agus juga menyerahkan buku yang baru diluncurkannya itu, ke Margiono (Ketum PWI Pusat 2008-2018), Atal Sembiring Depari (Ketum PWI Pusat 2018-2023), dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang (kiri). (Foto: Dwi Pambudo/Rakyat Merdeka).
Ketua DPR Bambang Soesatyo menerima buku Demokrasi dan Kedaruratan, Memahami Filsafat Politik Giorgia Agamben dari penulisnya sendiri, Agus Sudibyo (kanan), di Gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin. Agus juga menyerahkan buku yang baru diluncurkannya itu, ke Margiono (Ketum PWI Pusat 2008-2018), Atal Sembiring Depari (Ketum PWI Pusat 2018-2023), dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang (kiri). (Foto: Dwi Pambudo/Rakyat Merdeka).

RM.id  Rakyat Merdeka - Selama ini, banyak istilah yang ditempelkan dengan kata “darurat”. Seperti darurat narkoba, darurat terorisme, darurat perekonomian, sampai darurat bencana alam.

Apakah “kedaruratan” itu tepat? Hal itu dikupas tuntas dalam buku berjudul, “Demokrasi dan Kedaruratan, Memahami Filsafat Politik Giorgia Agamben” karya anggota Dewan Pers Agus Sudibyo.

Kemarin, buku tersebut diluncurkan di Hall Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih Jakarta Pusat. Peluncuran ini dihadiri banyak tokoh. Antara lain Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua Dewan Pers M Nuh, Ketua Umum PWI Pusat periode 2008-2013 dan 2013-2018 Margiono, Ketua PWI Pusat Atal Dapari, tokoh pers Ilham Bintang, dan budayawan Sudjiwo Tedjo. Buku tersebut juga dibedah oleh mantan Ketua MA Bagir Manan, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan akademisi Prof Mochtar Pabotinggi.

Baca juga : Soal Kursi Ketua DPR, Mbak Puan Merendah

Agus menjelaskan, buku ini memproblematisir hubungan antara keadaan darurat, status darurat, state of exception, dan demokrasi.

Sejarah sendiri menunjukkan, demokrasi selalu lahir dari rahim keadaan darurat. Manifestasi keadaan darurat itu adalah revolusi, suksesi, reformasi, kudeta, hingga people power.

“Namun pertanyaanya, bagaimana keadaan darurat ditempatkan dalam normalitas negara demokrasi,” ucapnya.

Baca juga : Pemkab Bekasi Anggarin 755 Juta Untuk Baju Dinas

Kedaruratan itu, kata Agus, kerap dinyatakan dalam keadaan yang sesungguhnya tidak benar-benar darurat, krisis.

Bahkan, sering dideklarasikan dalam keadaan normal. Deklarasi itu dilakukan baik penguasa maupun lawan penguasa.

“Masalahnya, deklarasi darurat ini adalah deklarasi penangguhan prinsip-prinsip demokrasi,” tambah dia.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.