Dark/Light Mode

Wahyu Muryadi

Mbah Moen dan Karomahnya

Selasa, 10 September 2019 07:21 WIB
Grafis: Iyong/Rakyat Merdeka
Grafis: Iyong/Rakyat Merdeka

RM.id  Rakyat Merdeka - Lazim, jika dunia pesantren akan memperbincangkan, mungkin menerka-nerka: sekaliber apakah keulaman Kiai Haji Maimoen Zubair? Barangkali pertanyaan ini tak perlu dijawab, atau malah sudah ada jawabannya.

Merujuk ucapan Mbah Moen, orang akan dinilai setelah tiada. Biar sejarah, atau hati umat, yang mencatat. Kendati bukan perkara gampang menakar maqam spiritual seseorang, namun pinisepuh Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri, saat melayat di pesantren Al-Anwar, Sarang, Jawa Tengah, menyebut almaghfurlah seorang wali.

La ya’riful wali ilal wali, begitu bunyi adagium khas dalam lektur pesantren. Tiada yang mengetahui wali, selain wali. Bagi para kiai, gus dan berjuta santri, ada sederetan ulama yang kondang, atau bahkan diyakini sebagai waliyullah, kekasih Allah di bumi Nusantara.

Setelah Wali Songo, ada sederet ulama yang dianggap wali—biasa ditandai dengan perilakunya yang eksentrik, nyeleneh. Kiai Hamid Pasuruan, Abu Ibrahim Woyla, Gus Miek, Mbah Liem, Kiai Hamid Kajoran, dan tokoh spiritual lainnya, mungkin juga Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, termasuk deretan mereka. Bagaimana dengan Mbah Moen? Wallahua’lam.

Tapi mari perhatikan kejanggalan berikut: ia seolah memilih hari dan bumi tempatnya berpulang. Di hari Selasa --yang kerap dianggap hari istimewa oleh kakek buyutnya -- di tengah Kota Suci Mekah, 6 Agustus 2019, di antara ribuan umat yang mengenalnya ketika hendak beribadah haji.

Mereka berebut memberi penghormatan terakhir dalam rangkaian prosesi pemakamannya, bergabung dalam majelis zikir dan tahlil, menshalatinya, merekamnya dengan smartphone—yang kemudian viral di mana-mana. Banyak pula yang ingin tabarukan, mencari berkah dengan cara menggotong atau sekadar menyentuh keranda jenazahnya sebagai isyarat salam terakhir.

Baca juga : Zivran: Berkat Doa dan Kerja Keras

Sangat pantas, apalagi buat tokoh yang kealimannya menjadi buah bibir. Tak cuma di jagad pesantren, tapi juga seantero republik—tak peduli agama dan keyakinannya, tak masalah preferensi politiknya. Ia berpulang di tempat yang dirindukan bermilyar kaum muslimin. Tatkala takdir ajal menjemput di sana, siapa pun tahu betapa luhur makna spiritualnya.

Gerangan siapa yang tak ingin jenazahnya disalatkan umat yang menyemut di Masjidil Haram, seutama-utamanya masjid dengan ganjaran ibadah seratus ribu kali lipat, ketimbang masjid biasa.

Mbah Moen, panggilan simpel kiai bermuka teduh dengan ujung bulu alis putih menyembul ini, maknanya dalam “ijmak sukuti”, kesepakatan diam, adalah tokoh sepuh NU yang sangat disegani siapapun. Rakyat jelata hingga presiden, kandidat presiden dan para pengikutnya, umat dari aliran dan mazhab mana pun, semua menaruh hormat padanya.

Masih ada isyarat lain yang mungkin penting. Alam seakan ikut berduka melepas kepergiannya. Gerimis subuh diturunkan saat beliau wafat dalam usia 90 tahun. Angin gurun bertiup sepoi menutup terik yang menyengat kala itu, menyulapnya menjadi rada mendung, ketika jenazah simbah yang lahir pas Hari Pemuda, 28 Oktober 1928 di Rembang, Jawa Tengah itu dikubur di pemakaman Jannatul Ma’la.

Di makam yang terletak di kaki bukit Hujun, tak jauh dari Masjidil Haram itulah, kakek buyut, kakek, anak, dan Khadijah, isteri Nabi Muhammad SAW dan para ulama besar dimakamkan—para topik berita di media massa diramaikan para tokoh yang “berebut” memimpin doa…

Pantaslah, pikir saya, jika pengaruhnya diperebutkan siapa pun, apalagi dalam kontestasi pemilihan presiden belum lama berselang. Ingat kala Mbah Moen keseleo lidah ketika berdoa di depan Presiden Jokowi, yang bertandang ke pesantrennya, malah dianggap berkah bagi pengikut Prabowo.

Baca juga : Hadiah Kejutan Dari Sang Badut

Saat diralat pun, orang mafhum, selip lidah lafal doa kiai rendah hati ini terkandung pesan: no politics, please! Tapi dia tak menolak kehadiran siapa pun, untuk kepentingan apa pun, di rumahnya yang mungil: dengan kursi yang disandari sarung bantal lapuk, tempatnya terbiasa tekun mengaji kitab kuning berjam-jam.

Perkara ilmu fiqh, juga tafsir, beliau boleh dikata salah seorang kampiunnya. Ia piawai melahap kitab kuning, semenjak muda belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri. Tapi pandangannya terhadap fiqh tergolong luwes. Ia pernah mengatakan, di balik kehalalan ibadah kita, terkandung sedikit keharaman.

Contohnya menabung buat berhaji, yang harus disimpan di bank konvensional, bukan bank dengan prinsip syariah—“haram dikit,” katanya,”tak mengapa”. Dalam tijarah, atau perdagangan, taqlibul mal tak boleh diartikan kaku, membolak-balikkan harta, sehingga supermarket yang omset dan untungnya gede malah bebas zakat, karena kulakannya tak kentara—cuma digerujug modal dan barang.

Bandingkan dengan pedagang kecil yang menggelar tikar di pasar, hanya karena ada harta yang diperdagangkan, lantas kena zakat dagang. Inti pesan yang ingin disampaikan Mbah Moen: pijakan hukum harus jelas, tapi penerapannya kudu adil dan bijaksana.

Tersebab itulah, dalam arena Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konperensi Besar NU di Bandarlampung, 1992 lalu, saya saksikan betapa Kiai Maimoen menjadi figur sentral dalam diskusi bahtsul masail diniyah khususy, pembahasan masalah keagamaan khusus. Fora yang dipimpin Kiai Cholil Bisri itu riuh dengan adu argumentasi, membahas isu aktual keagamaan.

Manakala perdebatan mentok, hadirin sepertinya spontan meminta kata putus kiai yang suka bergurau dan tampil rileks itu. Saat itulah, bersama Katib Am Syuriah PBNU waktu itu, Kiai Ma’ruf Amin, Mbah Moen termasuk pionir yang melahirkan kesepakatan penting: tak ada lagi keputusan yang ditunda lantaran tak ada teks jawaban, sebagaimana termaktub di dalam tumpukan kitab klasik yang muktabar.

Baca juga : Mario, Si Bocah Bengal Pulang Kampung

Biasanya, jika kiai berpolitik, niscaya akan beresiko: kehilangan kepercayaan umatnya. Ingat peristiwa Kiai Musta’in Romly, mursyid thariqah Naqsabandiyah dari Jombang, Jawa Timur, yang dikecam pengikutnya lantaran berpindah ke partai pro pemerintah—dia dinilai melakukan pemurtadan politik.

Mbah Moen lolos uji sebagai politisi konsisten, menjadi Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan. Ia tak tergoda berpindah, manakala para sejawatnya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. “Saya memang berbeda pendapat dengan Gus Dur, tapi saya takut kualat,” ujarnya merendah. Gus Dur, bersama Kiai Ma’ruf Amin, termasuk deklarator PKB.

Sikap politik Mbah Moen, yang dia tunjukkan terhadap Jokowi menjelang kampanye terakhir di Gelora Bung Karno, Jakarta, menjadi peristiwa menarik perhatian orang. Ia serahkan sorban hijau yang dikalungkan buat Jokowi, seperti halnya Habib Lutfi Pakalongan, yang mengalungkan tasbih batu pirus.

Simbolisasi dukungan ini mungkin tak terlalu dipersoalkan, lantaran ada penyeimbang di sebelah sana. Ustad Abdus Shomad dan Ustad Adi Hidayat, menyatakan sikapnya secara terbuka, disiarkan di medsos, membisikkan sinyal ghaib akan kuatnya posisi Prabowo dalam kontestasi pilpres.

Paling banter, kita mungkin bergumam mengomentari drama: dua kandidat dengan dukungan dua ulama sepuh versus dua ustad muda. Dan kita pun tahu: Jokowi memenangi kontestasi.

Seperti sudah kelar urusan duniawinya, Mbah Moen pun lantas pamit pulang di negeri seberang. Saya tak tahu, dan tak berhak menakar kadar kesalehannya. Kalaulah kelak ketemu kunci jawabannya, akan saya simpan di dalam hati, atau saya bawa berlari...***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.