Dark/Light Mode

Terutama Pemulung dan Tukang Sortir Sampah

Limbah Bekas Corona Ancam Kesehatan Warga

Minggu, 29 Maret 2020 12:49 WIB
Terutama Pemulung dan Tukang Sortir Sampah Limbah Bekas Corona Ancam Kesehatan Warga

RM.id  Rakyat Merdeka - Penyebaran pandemi corona atau Covid-19 semakin meluas. Warga yang terpapar semakin banyak. Imbauan untuk bekerja di rumah dan menghindari kerumunan orang, tentu berat bagi sebagian kelompok masyarakat.

Terutama mereka yang tetap berkerja. Apalagi penduduk miskin dan di bawah garis kemiskinan seperti pemulung dan buruh sortir sampah masih banyak. 

“Bagi mereka, tidak bekerja timbulkan masalah baru. Apalagi harga-harga sampah hasil pungutan turun drastis,” kata Bagong Suyoto Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) kepada Rakyat Merdeka, Jumat (27/3). 

Harga sampah campuran dan gabrugan tinggal Rp 600 per kilogram (kg). Biasanya Rp 1.000 sampai Rp 1.200 per kg. Dengan kondisi ini, mereka bisa kekurangan pangan. Terjadi busung lapar. Akhirnya terserang penyakit, dan ujungnya kematian. Jadi, hidupnya penuh bahaya. 

Baca juga : Perangi Covid-19, Santiago Bernabeu Jadi Gudang Penyimpan Alat Kesehatan

Pemulung dan keluarganya tinggal di gubuk-gubuk kumuh dan tercemar. Apalagi dus, masker dan bekas limbah rumah sakit Covid-19 mengancam kehidupan mereka. 

“Masalah lain, bagaimana pengelolaan limbah infeksius (limbah B3) dan sampah rumah tangga dari penanganan Covid-19? Apakah mengikuti peraturan perundangan, panduan dan standar prosedur resmi dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan?” tanya Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Dewan Pembina KAWALI Indonesia Lestari ini. 

Di lapangan, limbah infeksius atau medis dari penanganan Covid-19 disinyalir diserahkan pada pihak ketiga. Sementara sisa-sisa hasil sortir limbah berbahaya itu dibuang di sembarang tempat. Mestinya limbah infeksius itu harus dimusnahkan dengan suhu pembakaran insinerator minimal 800 derajat celcius. 

Sampah rumah tangga, lanjutnya, umumnya dikumpulkan dari rumah ke rumah, dibawa ke tempat penampungan sementara. Selanjutnya diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumurbatu, TPST Bantargebang, TPA Burangkeng, TPA Jalupang, TPA Galuga. 

Baca juga : Baznas Gelar Cash For Work

Sayangnya, sampah yang dibuang di TPA dan TPST itu langsung dipungut pemulung. Mereka tak berpikir panjang tentang bahaya Covid-19 saat mengais sampah. Bekerja penuh resiko. Pemulung bekerja tanpa masker, sarung tangan atau pelindung kerja yang aman secara medis. Setelah keranjang dan gerobak penuh, sampah dibawa ke gubuk kumuh dan dikumpulan untuk disortir. Setelah terkumpul banyak, seminggu atau dua minggu sekali dijual ke pelapak (waste collector). 

Jakarta dengan jumlah penduduk 10,7 juta jiwa merupakan episentrum pandemic Covid-19 dan korbannya terbesar di Indonesia. Jakarta memproduksi sampah hampir 10.000 ton per hari. Sebanyak 7.500-7.800 ton per hari dibuang ke TPST Bantargebang. Begitu juga sampah sekitar 1.500 ton per hari wilayah Kota Bekasi dibuang ke TPA Sumurbatu. TPST dan TPA itu berada di wilayah Kecamatan Bantargebang. Total semuanya sekitar 9.300 ton per hari sampah dibuang ke Bantargebang. 

Belum lagi sampah dan limbah medis dari luar wilayah Jakarta dan Kota Bekasi, yang dibawa ke sejumlah pelapak dan pabrik daur ulang di wilayah tersebut. Lebih mengerikan lagi, kata Bagong, Bantargebang merupakan tujuan akhir dari sampah, limbah medis dan infeksius, limbah B3 industri, dan lainnya. 

Padahal di samping tempat pengolahan limbah industri itu ada sarana pendidikan anak usia dini dan rumah warga. Setiap hari instalasi tersebut mengeluarkan asap hitam pekat menyebar ke pemukiman warga sekitar TPA Sumurbatu. 

Baca juga : Gara-gara Corona, Buruh Khawatir Makin Sengsara

Padahal menurut peraturan perundangan, termasuk persyaratan penting yang harus dipenuhi, adalah amdal dalam jarak sampai 300 meter tidak boleh ada rumah penduduk, sarana pendidikan, sarana ibadah, jalan raya/umum, kali/sungai, dan lain-lain. 

Dikatakan Bagong, virus corona dapat menempel pada sejumlah benda dan sampah. Pemerintah telah menetapkan kondisi pandemik Covid-19 ditangani secara sistematis menurut ketentuan dan pedoman pemerintah. Penanganan Covid-19 diperlukan sarana kesehatan, seperti alat pelindung diri (APD), alat dan sampel laboratorium, setelah digunakan merupakan limbah B3 berupa limbah infeksius (A337-1), sehingga perlu dikelola seperti limbah B3. Tujuannya untuk mengendalikan, mencegah dan memutus penularan Covid-19, serta menghindari penumpukan limbah B3. 

Bagong mendesak, penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan yang tertutup paling lama 2 (dua) hari sejak dihasilkan. Selain itu, mengangkut dan atau memusnahkan pada pengolahan limbah B3 lewat fasilitas incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celcius atau autoclave yang dilengkapi dengan pencacah (shredder). 

Selain itu, residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan dilekati simbol “Beracun” dan label Limbah B3 yang selanjutnya disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 untuk selanjutnya diserahkan kepada pengelola Limbah B3. “Harus ada kerja sama yang kuat antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian LHK dengan dukungan Mabes Polri dan TNI,’’ papar Bagong. [FAQ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.