Dark/Light Mode

Jalan Kaki Di Kota Bikin Sehat Fisik Dan Sosial

Minggu, 7 April 2019 08:12 WIB
Tantan Hermansah
Tantan Hermansah

RM.id  Rakyat Merdeka - Dalam berbagai kesempatan mengunjungi banyak kota di Indonesia, kadang kita ingin menikmati kota tersebut. Entah sore, pagi, atau malam hari dengan berjalan kaki. Tapi, hampir sama dan serupa, banyak kota di Indonesia, walaupun tergolong kota besar, kurang ramah pejalan kaki.

Fasilitas standar bagi pejalan kaki adalah trotoar. Merujuk kepada regulasi, ketersediaan fasilitas trotoar merupakan hak pejalan kaki yang telah disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UULLAJ.

Artinya, trotoar diperuntukkan untuk pejalan kaki. Bukan untuk seorang secara pribadi. Tapi coba kita lihat. erjalan kaki di trotoar tidak nyaman karena beberapa hal berikut. Pertama, banyak kawasan jalan kaki dikuasai secara illegal oleh pedagang kaki lima, pot yang besar, pohon-pohon yang kurang terawat. Belakangan, bambu yang menopang spanduk kandidat pemimpin politik.

Kedua, kelayakan trotoarnya itu sendiri. Selain sempit dan seadanya, kurang penerangan kalau malam, dan tidak “nyeni”. Untuk membangun kota yang ramah jalan kaki memang perlu kemauan dan tekad yang kuat.

Di Maroko, karena negerinya sudah menetapkan diri sebagai destinasi wisata, trotoar itu surga bagi pejalan kaki yang ingin menikmati kota. Trotoar lebarnya mulai 5 sampai 9 meter. Dengan lebar seperti itu, pejalan kaki tidak akan bersenggolan dengan mereka yang berlawanan arah.

Baca juga : 3 Faktor Ini Bikin Pembahasan RUU Minol Mentok

Di Thailand, area jalan kaki dibuat di bawah jalan layang kota. Pejalan kaki bisa bepergian dengan nyaman karena tidak akan kendaraan.

Jalan kaki di perkotaan sangat penting. Dengan jalan kaki, masyarakat akan langsung berolahraga. Selain menyehatkan, juga sehat secara sosial. Karena biasanya, berjalan kaki lebih “seru” dilakukan bareng-bareng. Dengan sendirinya, kegiatan jalan kaki bisa berkontribusi kepada aspek kohesi sosial masyarakat kota.

Saat ini kita terlalu mudah menggunakan kendaraan. Bahkan untuk jarak di bawah 900 meter saja, kita menggunakan sepeda motor atau di antar sopir. Beberapa pejabat seperti sudah dimafhum jika harus diantar sampai depan kantornya. Mereka punya tempat parkir VVIP sendiri. Akibatnya, tubuh kurang bergerak. Obesitas meningkat. Obesitas kota dalam arti yang lebih harfiah terjadi karena penduduknya kurang bergerak dan berkeringat.

Mungkinkah kita bisa mendesain kota yang ramah dengan penjalan kaki? Mungkin dan harus. Namun ada sejumlah syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah kota jika akan membuat kota ramah jalan kaki.

Pertama, revitalisasi fasilitas pejalan kaki mulai dari kualitas jalan, desain jalan, dan tata jalan. Jangan sampai begitu kawasan itu dibuat, yang ramai malah pedagang kakilima dan pengason. Tentu sangat mengganggu kenyamanan. Saat ini banyak tempat jalan kaki seperti yang ditulis di atas: kumuh, tegelnya rusak, terganggu pedagang kaki lima, serta hal lainnya.

Baca juga : Jokowi Ngopi Bareng Pengusaha Dan Milenial

Kedua, keterhubungan antar kawasan. Misalnya, antara tempat parkir umum dengan kawasan kantor-kantor. Atau kawasan tempat tinggal dengan tempat kerja maupun tempat belanja. Atau taman-taman kota dan area wisata lainnya.

Aspek keterhubungan antar kawasan ini penting untuk menunjang seseorang melakukan perjalanan berjalan kaki. Dengan demikian, Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) kota pun perlu ditinjau ulang. Proses reunifikasi kawasan perlu dilakukan. Agar fasilitas para pejalan kaki tidak mubazir.

Ketiga, keteladanan. Upaya menjadikan kota ramah bagi pejalan kaki harus jadi gerakan. Ini bisa dilakukan jika ada keteladanan. Untuk itu, pemerintah harus menjadi pelopornya. Misalnya dengan memulai pemusatan tempat parkir di titik tertentu dan membuat aturan kepada aparatnya untuk berjalan kaki menuju unit kerjanya.

Walikota, wakil walikota, kepala dinas, dan para staf melakukan jalan kaki. Kawasan-kawasan perkantoran pemerintah yang tidak ada lagi jadi tempat parkir itu diubah menjadi ruang publik, tempat baca, taman, atau ruangan lain yang fungsional.

Keempat, komunitas. Jalan kaki harus dikampanyekan. Pemerintah, kampus, dan swasta, berkolaborasi membentuk komunitas pejalan kaki. Komunitas yang menyehatkan secara fisik dan sosial ini, di awal-awal harus diberikan insentif. Misalnya kemudahan mengurus pajak, diskon belanja, atau apa saja. Dengan kolaborasi seperti ini, gerakan jalan kaki di kota bisa bersinergi dan saling menguatkan.

Baca juga : Ini Alasan GP Ansor Bikin Gerakan Rabu Putih

Jalan kaki bersama akan memiliki manfaat sosio-psikologis yang kuat kepada masyarakat dan pemerintah. Sederhananya, dalam setiap kegiatan akan terjadi interaksi yang, bisa jadi saling memperkuat ikatan-ikatan emosial antar pemimpin dengan bawahan atau antar anggota komunitas.

Bayangkan saja, betapa hebatnya seorang walikota atau bupati yang ketika turun dari mobil dinasnya berjalan bersama staf-stafnya. Sambil saling menyapa mengenai keluarga, kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Sangat mungkin, dengan kebersamaan ini, para pemimpin bisa menyelesaikan beberapa permasalahan. Bahkan sebelum mereka duduk di kursi empuknya.

 

Tantan Hermansah

Penulis adalah Doktor Bidang Sosiologi Universitas Indonesia dan Pengampu Mata Kuliah Sosiologi Perkotaan Di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.