Dark/Light Mode

Wacana Hukuman Mati Koruptor, Pakar Hukum UGM: Hati-Hati Memaknai Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor

Senin, 6 Desember 2021 18:04 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - Wacana Hukuman mati bagi koruptor yang diusung Jaksa Agung ST Burhanudin memunculkan polemik. Banyak pihak yang tak sependapat soal wacana tersebut.

Salah satunya, pakar hukum sekaligus akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Djoko Sukisno. "Walaupun hukuman mati diizinkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, namun harus dicermati pula penjelasannya," ujar Djoko, Senin (6/12).

Baca juga : Wacana Hukuman Mati Koruptor, Amnesty International Indonesia: Jaksa Agung Langgar Deklarasi Universal HAM!

Diingatkannya, hukuman mati koruptor yang diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi itu, menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.

Perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'. "Karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut," imbuhnya.

Baca juga : Jaksa Agung Jangan Omdo

Djoko menyebut, 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila, tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata 'pengulangan' diawali dengan tanda baca koma, maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

Baca juga : Hukuman Mati Jargon Politik Jaksa Agung, Pakar Ajari Asas Legalitas UU Tipikor

"Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya," tekannya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah di antara mereka ada yang residivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama. Lalu, perlu dilihat juga tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana, bukan waktu persidangannya. 
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.