Dark/Light Mode

Pemerintah Mau Tarik Utang Rp 973 Triliun

Ekonom Tidak Kaget

Selasa, 14 Desember 2021 07:30 WIB
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Riko Amir. (Foto: Kemenkeu)
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Riko Amir. (Foto: Kemenkeu)

 Sebelumnya 
Dengan demikian, maka defisit anggaran pun ikut mengecil dari yang awalnya ditetapkan sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,7 persen terhadap PDB, diproyeksi mengecil menjadi Rp 863,7 triliun atau 5,13 persen terhadap PDB. “Ke depan kita harapkan rasio terus turun. Tahun 2022, rasio utang bisa sama dengan tahun ini yang turun,” tukas Riko.

Pembiayaan utang tahun depan menyesuaikan dengan target defisit APBN 2022 sebesar 4,9 persen dari PDB atau Rp 868 triliun. Pendapatan Negara ditargetkan Rp 1.846,1 triliun, sedangkan belanja negara Rp 2.714,2 triliun.

Pembiayaan utang ini bukan hanya dipakai untuk menutupi defisit APBN, melainkan membiayai sejumlah kebutuhan lain. Ini antara lain untuk membayar cicilan utang yang lebih dari Rp 84 triliun, pembiayaan investasi sebesar Rp 182,3 triliun, dan pembayaran kewajiban penjaminan Rp 1,1 triliun.

Baca juga : Pemerintah Dan DPR Garap RUU Fintech

Sebagai informasi, catatan Kemenkeu per Oktober 2021, utang negara mencapai Rp 6.687,28 triliun. Atau setara dengan 39,69 persen terhadap PDB. Memang, jumlah utang itu turun Rp 24,24 triliun jika dibandingkan dengan September 2021. Hal ini karena utang dari SBN valas turun Rp 13,85 triliun dan pinjaman turun Rp 15,26 triliun.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus tidak kaget jika pemerintah bakal narik utang tahun depan. Selama capaian penerimaan belum pulih, pengeluaran pemerintah akan terus ditambal lewat utang.

Namun, Heri mempertanyakan utang ini diperuntukkan untuk apa. “Jika pemanfaatannya dan efektivitasnya tidak menghasilkan produktivitas ekonomi, ya itu jadi persoalan,” ulasnya, saat dihubungi tadi malam.

Baca juga : Pemerintah Haramkan Acara Tahun Baruan Yang Picu Kerumunan, Termasuk Di Mall

Karena saat ini, yang terjadi adalah defisit ketimpangan primer. Artinya, untuk belanja rutin dan belanja barang belum bisa tercukupi dari penerimaan. Sehingga, bagaimana bisa pemerintah memperlebar ruang fiskal atau menggunakan utang tersebut ke sektor produktif.

Soal rasio terhadap PDB, Heri menyebut masih bisa dikalkulasi dalam taraf relatif lebih kecil dari negara lain. “Tapi, kalau misalnya pemerintah berutang untuk membayar bunga utang, itu tidak baik. Itu yang dikhawatirkan,” katanya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mengatakan, indikator kerentanan utang 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan international debt relief (IDR). Hal ini tertuang dalam Hasil Review atas Kesinambungan Fiskal 2020 yang dirilis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester I-2021. [MEN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.