Dark/Light Mode

Catatan Joko Santoso

Budaya Literasi dan Ruang Belajar Sepanjang Hayat Bernama Perpustakaan Umum

Kamis, 8 September 2022 09:41 WIB
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpusnas Joko Santoso (Foto: Istimewa)
Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpusnas Joko Santoso (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Misi utama perpustakaan umum ini di Indonesia sesungguhnya telah diafirmasi menjadi urusan wajib non pelayanan dasar di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Faktanya di Indonesia 33 pemerintah provinsi telah membentuk dinas perpustakaan umum yang secara nomenklatur kelembagaan mayoritas digabungkan dengan kearsipan. Hanya provinsi Bali yang mereduksi kelembagaan perpustakaan dari dinas menjadi sub bagian di bawah Sekretariat Daerah pasca pandemi.

Data Perpustakaan Nasional (2022) dari jumlah 514 kabupaten dan kota di Indonesia semula telah terbentuk 496 (96,5 persen) perpustakaan umum tingkat kabupaten dan kota, atau hanya 18 (3.5 persen) kabupaten dan kota yang belum membentuk dinas perpustakaan umum. Namun, akibat terdampak pandemi dan kemungkinan berbagai pertimbangan sejumlah pemerintah daerah kabupaten melikuidasi dinas perpustakaan umum, seperti Samosir, Humbang Hasundutan, Tasikmalaya dan Jembrana. Terhadap hal ini, meminjam ungkapan Neil Gaiman (2022), “perpustakaan sungguh-sungguh pintu gerbang masa depan. Jadi sangat disayangkan bahwa, di seluruh dunia, kami mengamati otoritas daerah mengambil kesempatan untuk menutup perpustakaan sebagai cara mudah menghemat uang, tanpa menyadari bahwa mereka tengah mencuri dari masa depan untuk membayar hal ini, mereka menutup gerbang yang seharusnya terbuka."

Data Perpustakaan Nasional  juga menunjukkan bahwa dari 7.244 kecamatan di Indonesia, hanya 1.685 kecamatan yang memiliki perpustakaan (23.26 persen), atau mayoritas kecamatan di Indonesia belum membentuk perpustakaan umum. Kemudian, dari 83.381 desa/kelurahan hanya 33.929 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan (40.69 persen), atau lebih dari separoh desa dan kelurahan di Indonesia belum membentuk perpustakaan umum.   Kondisi demikian sangat disayangkan, karena pemerintah daerah masih banyak yang mengabaikan amanat undang-undang untuk membentuk perpustakaan umum sebagai pelaksanaan urusan wajib non pelayanan dasar.

Urgensi perpustakaan umum terkait dengan peningkatan literasi masyarakat adalah pembentukan perpustakaan umum di seluruh provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan. Penguatan layanan perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat dapat dilaksanakan secara ekstensif melalui pengembangan layanan perpustakaan keliling, pengembangan perpustakaan digital dan pengembangan perpustakaan komunitas.

Baca juga : Belajar Dari Pak Hoegeng Sang Polisi Yang Berkarakter Pancasila

Dalam upaya peningkatan layanan perpustakaan umum di daerah, Perpustakaan Nasional hingga saat ini telah memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa 871 unit Mobil Perpustakaan Keliling, 92 unit motor Pustaka, 300 unit Pojok Baca Digital dan platform perpustakaan digital berbasis gawai telah direplikasi oleh 250 daerah.

Layanan perpustakaan umum harus dapat diakses secara fisik atau digital oleh semua anggota masyarakat. Hal ini membutuhkan bangunan perpustakaan yang posisi dan kelengkapan sarananya baik, fasilitas baca dan belajar yang baik, serta teknologi yang relevan dan jam buka yang cukup nyaman bagi pengguna. Hal tersebut juga menyiratkan layanan yang menjangkau mereka yang tidak dapat mengunjungi perpustakaan.

Layanan perpustakaan umum harus disesuaikan dengan kebutuhan yang berbeda antara masyarakat di pedesaan dan perkotaan, serta dengan kebutuhan kelompok marginal, pengguna dengan kebutuhan khusus, pengguna multibahasa, dan penduduk asli yang ada di masyarakat.

Transformasi layanan perpustakaan umum berbasis inklusi sosial sangat mendesak untuk dilaksanakan secara masif. Mengacu pada data Susenas BPS (2018), proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah (STTB) berpendidikan tinggi hanya 8,8 persen. Mayoritas penduduk Indonesia (64,9 persen) berpendidikan SD atau SMP sederajat. Data dari sumber yang sama juga menunjukkan bahwa terbanyak (62,5 persen) masyarakat termiskin lulusan SD sederajat. Kondisi pendidikan ini jika disandingkan dengan data penyandang disabilitas pun sungguh muram. Menurut data BPS (2018), akses pendidikan bagi para penyandang disabilitas masih tergolong rendah. BPS menyebutkan, terdapat 30,7 persen penyandang disabilitas  yang tidak tamat sekolah sampai tingkat pendidikan menengah. Sementara itu, penyandang disabilitas yang berhasil tamat perguruan tinggi hanya 17,6 persen dari total penyandang disabilitas. BPS juga menyebutkan, lapangan pekerjaan bagi disabilitas pada periode 2016-2019 tidak pernah tumbuh lebih dari 49 persen, atau lebih dari separuh penyandang disabilitas tidak terserap lapangan kerja.

Baca juga : Kenaikan Harga BBM dan Pemangkasan Subsidi Angkutan Umum

Kepentingan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja masyarakat yang hanya tamatan Pendidikan SD dan SMP, termasuk penyandang disabilitas sangatlah mendesak. Dalam Manifesto Perpustakaan Umum jelas dinyatakan bahwa  layanan perpustakaan umum disediakan atas dasar kesetaraan akses untuk semua, tanpa memandang usia, etnis, jenis kelamin, agama, kebangsaan, bahasa, status sosial, dan karakter lainnya. Layanan dan bahan perpustakaan tertentu harus disediakan untuk mereka yang tidak dapat, untuk alasan apa pun, menggunakan layanan dan bahan perpustakaan yang biasa, sebagai contoh penutur bahasa minoritas, penyandang disabilitas, keterampilan digital atau komputer yang buruk, kemampuan literasi yang buruk atau orang-orang yang dalam kondisi papa di rumah sakit atau penjara.

Semua kelompok usia harus menemukan bahan perpustakaan yang relevan dengan kebutuhan mereka. Koleksi dan layanan perpustakaan umum harus mencakup semua jenis media yang sesuai dan teknologi modern yang sedang berkembang. Koleksi perpustakaan dalam kualitas tinggi, relevan dengan kebutuhan dan kondisi lokal, dan cerminan dari keragaman bahasa dan kebudayaan masyarakat merupakan hal yang mendasar. Bahan Perpustakaan harus mencerminkan tren yang berlaku saat ini dan evolusi masyarakat, serta memori tentang upaya dan imajinasi manusia. Manifesto juga menandaskan koleksi dan layanan perpustakaan umum tidak boleh tunduk pada segala bentuk sensor ideologis, politis, atau agama, atau tekanan komersial.

Budaya Literasi

Neil Gaiman dalam tulisannya yang berjudul provokatif “Kenapa masa depan kita bergantung pada perpustakaan, membaca dan melamun?” (2022), mengatakan perpustakaan adalah soal kebebasan, kebebasan membaca, kebebasan berpikir, kebebasan berkomunikasi. Perpustakaan adalah soal pendidikan (yang mana, bukan proses yang selesai begitu kita meninggalkan sekolah atau kampus), soal hiburan, soal membangun ruang aman, dan soal akses ke informasi.

Baca juga : Ulama Dan Ribuan Santri Tanah Pasundan Doakan Ganjar Pranowo Jadi Presiden 2024

Literasi menjadi lebih penting dari sebelumnya di dunia teks dan e-mail saat ini, dunia informasi tertulis. Kita perlu membaca dan menulis, kita memerlukan warga dunia yang bisa membaca dengan nyaman, memahami apa yang mereka baca, memahami perbedaan kecil, dan membuat diri mereka dipahami. Putu Laxman Pendit dalam Pustaka dan Kebangsaan (2022) mengatakan konsep pustaka dan membaca dapat membantu kita mengalihkan persoalan epistemik manusia dari orientasi ke berpengetahuan secara individual ke berpengetahuan yang dibentuk oleh hubungan sosial dan institusi sosial. Hasil-hasil kajian epistemologi sosial tentang dampak sistem dan interaksi sosial dapat dijadikan landasan teoritis untuk mengkaji bagaimana pustaka secara historis-kontekstual mempengaruhi pengetahuan dan pandangan individual maupun masyarakat secara kolektif.

Lebih jauh Pendit menegaskan, bahwa dari tinjauan historis kita juga telah dapat melihat pustaka pada masa kolonialisme berperan secara tidak langsung dalam penyebarluasan pendapat tentang bentuk penyelenggaraan kehidupan bersama, termasuk bentuk yang lebih formal seperti politik dan pemerintahan. Dilihat dari kacamata masa kini, pustaka sebenarnya dapat kita kaitkan dengan yang kini dalam teori-teori politik disebut “pendekatan epistemik terhadap demokrasi”. Perpustakaan umum di Indonesia, seharusnya tidak dilihat hanya sebagai instrumen administrasi pemerintahan, melainkan sebagai sarana epistemologis masyarakat umum untuk memahami diri mereka sendiri, dan kemudian mengatur kehidupan mereka berdasarkan pemahaman itu.

Dengan menyimak narasi pentingnya membentuk budaya literasi melalui membaca pustaka di atas, kiranya kita bersepakat dengan ajakan Neil Gaiman berikut. Kita punya tanggung jawab untuk mendukung perpustakaan. Menggunakan perpustakaan, mendorong orang lain menggunakan perpustakaan, memprotes penutupan perpustakaan. Jika kalian tidak menghargai perpustakaan, kalian tidak menghargai informasi atau budaya atau kebijaksanaan. Kalian membungkam suara masa lalu dan kalian merusak masa depan.  Selamat merayakan Hari Literasi Dunia, 8 September 2022. Salam literasi untuk kesejahteraan…!■ 

Joko Santoso, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Perpustakaan Nasional

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.