Dark/Light Mode

Mengunjungi Sejumlah Apotek

Nggak Berani Jual Obat Sirup, Omzet Turun

Sabtu, 22 Oktober 2022 07:56 WIB
Petugas apotek di Cinere, Depok, mengumpulkan obat-obatan dalam bentuk sirup, yang dilarang dijual sementara oleh pemerintah. (Foto: Patra/RM)
Petugas apotek di Cinere, Depok, mengumpulkan obat-obatan dalam bentuk sirup, yang dilarang dijual sementara oleh pemerintah. (Foto: Patra/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Setelah Pemerintah melarang sementara penjualan obat sirup buntut kasus gangguan ginjal akut, dampaknya mulai dirasakan sejumlah apotek. Saat ini, apotek sudah nggak berani lagi jual obat sirup kepada konsumen. Akibat penghentian itu, omzet apotek turun. 

Sejauh ini, kasus gagal ginjal akut yang telah menyerang 241 anak dan 133 di antaranya meninggal dunia, disebabkan oleh obat sirup yang mengandung Etilon Glikol (EG). Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) bahkan sudah menarik 5 jenis obat yang diduga mengandung zat berbahaya itu dari pasaran. 

Meskipun tidak semua obat sirup mengandung EG, tetap saja masyarakat waswas. Para orang tua tidak berani memberikan anaknya obat cair untuk merk apa pun. Meskipun imbauan pemerintah itu baru beberapa hari diberlakukan, sejumlah apotek sudah merasakan dampaknya. 

Kemarin, Rakyat Merdeka mengunjungi sejumlah apotek yang ada di Jakarta dan sekitarnya, untuk mengecek langsung dampak larangan penggunaan obat sirup. Salah satu yang dikunjungi adalah apotek Kimia Farma Pondok Duta, di Pelni, Sukmajaya, Depok. 

Apotek ini cukup besar dengan bangunan gedung serta lahan pakir yang luas. Di pintu masuk ditempel selembar kertas. Isinya pemberitahuan yang isinya Kimia Farma tidak menjual obat sirup selama masih dilakukan penelitian sesuai dengan arahan Kementerian Kesehatan.

Baca juga : Apotek Dilarang Jual Obat Dalam Bentuk Sirup

Di dalam apotek, rak yang biasa dipakai untuk memajang obat sirup untuk pereda panas untuk anak dan dewasa juga sudah kosong melompong. Biasanya, di rak ini terpajang berbagai obat sirup pereda panas seperti Sanmol, Termorex, Tempra, dan sebagainya. Tak hanya obat panas, jajaran obat batuk sirup juga sudah tidak ada. 

Menurut petugas, tokonya sudah melakukan penarikan obat sejak Rabu (19/10). Tepatnya, saat BPOM mengeluarkan rilis soal 5 obat sirup dengan kandungan EG. Kata petugas, keputusan pemerintah melarang menjual obat sirup dan keputusan BPOM cukup berdampak. 

"Sekarang sepi. Yang datang kebanyakan yang beli obat dari resep dokter," kata petugas.  

Pemandangan yang sama terlihat di apotek Kimia Farma di Arundina, Cipayung, Jakarta Timur. Di apotek ini, rak obat yang biasa memajang obat sirup penurun panas maupun obat batuk juga sudah kosong melompong. 

Hal yang sama juga saat Rakyat Merdeka mengunjungi Apotek Sehat Bening yang berada di Perumahan Venezia, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Lukihadi, pemilik apotek Sehat Bening mengaku terus mengikuti perkembangan kasus gagal ginjal akut pada anak. Jadi, saat Kemenkes melarang menjual obat sirup dan kemudian BPOM mengumumkan lima jenis obat sirup yang berbahaya, ia langsung menyingkirkan obat sirup dari display

Baca juga : DKI Imbau Pengunjung Dukuh Atas Nggak Buang Sampah Sembarangan

"Masuk ke gudang semua," kata Luki, saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin. 

Menurut Luki, obat-obat itu tidak tahu nasibnya bagaimana nanti. Apakah akan ditarik, diretur, atau dimusnahkan. Ia berharap Kemenkes segera mengumumkan obat apa saja yang berbahaya agar tidak membuat khawatir masyarakat. 

Kata dia, sejak kasus ini merebak, penjualan obat menurun drastis. Omzet menurun hingga 40 persen. Soalnya penjualan paling banyak dari obat sirup. "Sekarang, kalau ada yang datang saya alihkan ke puyer atau tablet," ucapnya. 

Dihubungi terpisah, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) meminta pemerintah tidak lama-lama melarang penjualan obat sirup. Juru Bicara Dewan Pakar IAI, Keri Lestari Dandan mengatakan, keputusan pemerintah ini jika dibiarkan terlalu lama akan menimbulkan tantangan baru. Ia menghormati keputusan pemerintah sebagai bentuk kehati-hatian. Namun, menurutnya, tidak semua obat sirup mengandung EG dan residunya.

Menurut Keri, jika terlalu lama masyarakat pada akhirnya konsumsi obat beralih ke puyer. Padahal tidak semua obat bisa dijadikan obat puyer. Selain itu, ada anak-anak yang sulit menelan jika diberi puyer. Karenanya, harus diberi sirup. Nah, IAI kini menunggu penjelasan dari Kemenkes tentang kadar EG yang diperbolehkan dalam obat sirup. 

Baca juga : Mendag Klaim Harga Migor Berangsur Turun

Sementara itu, Kemenkes bersama BPOM masih meneliti puluhan obat sirup yang dikonsumsi oleh anak yang terpapar gagal ginjal akut. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengatakan, obat-obatan tersebut didapat dari rumah pasien. Kata dia, pihaknya sudah mendatangi 156 rumah dari 241 pasien. 

"Kita datangi semua rumah-rumah tersebut. Dari 241 (pasien), kita sudah datang ke 156. Dari 156 itu kita sudah menemukan obat-obat yang ada di lemari keluarga ini yang jenisnya sirup," kata BGS, sapaannya dalam konferensi pers, di Kantor Kemenkes, Jakarta, kemarin. 

BGS mengungkapkan, obat-obat tersebut tengah diteliti bersama BPOM menyusul adanya dugaan cemaran EG. Ia juga berencana akan membuka jenis obat sirup yang aman untuk dikonsumsi masyarakat. 

"Kami melapor (ke Presiden) dan Pak Presiden bilang, 'Pak Menkes dibuka saja biar tenang masyarakat'. Dan kita (akan) lakukan transparansi ke publik," katanya. 

Hal ini disebut juga sudah didiskusikan bersama Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, IAI, ahli farmakologi, hingga BPOM. "BPOM nanti akan lihat dari sekian ribu atau sekian puluh ribu ini obat-obatan sirup, mana yang tidak ada polietilen glikol-nya. Itu nanti akan dibuka. Jadi harapan weekend ini, ya," tegasnya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.