Dark/Light Mode

Perlu Data Berbasis Bukti

Prof. Tjandra: Belum Tentu Dokter PPDS Kita Benar-Benar Depresi

Rabu, 17 April 2024 08:11 WIB
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: dok. Pribadi)
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: dok. Pribadi)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti hasil survei Kementerian Kesehatan tentang depresi pada para dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), yang belakangan ini ramai diberitakan di media massa.

Survei itu dilakukan terhadap 12.121 dokter peserta PPDS yang bekerja di 28 Rumah Sakit Pusat milik Kementerian Kesehatan di berbagai kota.

Dalam survei ini, para dokter peserta PPDS diminta menjawab kuesioner, yang terdiri dari sembilan pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda (multiple choice). Jadi, tidak ada wawancara dan tidak ada tatap muka dengan surveyor. Para dokter peserta PPDS tinggal memilih jawaban a,b,c atau d.

Dari jawaban atas 9 pertanyaan ini, antara lain disimpulkan bahwa 2.716 dokter peserta PPDS (22,4 persen) mengalami gejala depresi dalam berbagai tingkatan, dan dalam 2 minggu terakhir ada 3,3 persen dokter peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.

"Hasil survei ini cukup mengagetkan banyak pihak. Banyak pula yang mengkhawatirkan dampaknya untuk pelayanan kesehatan kita," kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Rabu (17/4/2024).

Menurut Prof. Tjandra, ada beberapa hal yang perlu kita dalami dalam membaca hasil survei terhadap para dokter ini.

Seperti disebutkan di atas, hasil yang dilaporkan adalah berdasar 9 pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda. Sehingga, kegiatan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai skrining atau penapisan awal.

Skrining adalah hal yang baik saja dilakukan, juga mungkin perlu. Tetapi, hasilnya masih perlu dianalisis mendalam, untuk mendapatkan diagnosis sesuai prosedur yang biasa dilakukan.

"Tegasnya, hasil tersebut belum merupakan diagnosis pasti, bahwa sekitar seperlima (22,4 persen) dokter peserta PPDS kita sudah benar-benar depresi. Belum sepenuhnya pasti pula, bahwa 75 dokter di antaranya mengalami depresi berat," tutur Prof. Tjandra, yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Dia berpendapat, untuk memastikan diagnosis depresi, tentu bukan hanya semata-mata dengan menjawab 9 pertanyaan pilihan ganda saja.

Baca juga : Hari Gizi Nasional 2024, Prof Tjandra: Isu Stunting Bisa Jadi Bahan Debat Capres

Perlu ada pemeriksaan menyeluruh dari pakarnya, mungkin psikolog atau psikiater. Caranya antara lain berdasarkan gejala dan evaluasi psikologis, seperti suasana hati, nafsu makan, pola tidur, dan tingkatan aktivitas pikiran.

Untuk menghindari kemungkinan penyakit lain, tenaga medis juga mungkin akan melakukan pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan sebagainya.

Prosedur lengkap dan lege artis perlu dilakukan. Apalagi, menurut WHO, depresi terjadi karena interaksi kompleks berbagai faktor sosial, psikologikal dan biologikal.

"Kita tahu, prinsip dasar ilmu kedokteran adalah mengobati berdasar diagnosis. Jadi, ada tidaknya depresi pada PPDS (atau siapa pun), perlu mendapat diagnosis yang tepat dari pakarnya," papar Prof. Tjandra.

Di rumah sakit besar milik Kementerian Kesehatan, yang menjadi tempat bekerja para dokter peserta PPDS, tentu ada pelayanan kesehatan jiwa yang lengkap. Sehingga, diagnosis pasti dapat ditegakkan sesuai kaidah ilmu yang baik. Sesuai pula dengan International Classification of Diseases (ICD), yang dianut luas oleh dunia kedokteran.

Patut pula disampaikan, para dokter psikiater di berbagai rumah sakit kita, dulunya juga pernah jadi peserta PPDS.

"Yang jelas, hasil survei kini sudah tersedia, sudah dipublikasi luas di media massa, dan sudah menarik banyak perhatian publik. Sehingga, yang saat ini diperlukan adalah bagaimana tindak lanjutnya," ucap Prof. Tjandra.

Terkait hal tersebut, Prof. Tjandra mengatakan, ada lima hal yang setidaknya dapat dan perlu dilakukan.

Pertama, akan baik kalau ada data pembanding. Jadi, survei tersebut ada kontrolnya.

Dalam konteks ini, metode yang sama juga dilakukan terhadap para peserta pendidikan yang lain. Termasuk, universitas ternama dengan mutu pendidikan tinggi, atau jenis pendidikan tinggi lainnya.

Baca juga : Menteri Siti: Kita Nggak Main-main

"Kalau ada pembanding, kita akan tahu, apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang di dunia pendidikan pada umumnya," cetus Prof. Tjandra.

Kedua, akan baik kalau metode penilaian depresi yang sama dengan sembilan pertanyaan ini juga dilakukan terhadap masyarakat umum.

"Berita tentang tekanan ekonomi dan sosial di masyarakat, mungkin akan memberi gambaran depresi pula. Bukan tidak mungkin, data peserta program PPDS kita menggambarkan pola pada populasi secara umum," beber Prof. Tjandra.

Ketiga, dengan ditemukannya gambaran depresi seperti hasil evaluasi Kementerian Kesehatan ini, kita tentu jangan berhenti pada angka deskriptif. Kita perlu melakukan analisis kualitatif untuk melihat faktor penyebabnya.

Analisis kualitatif dan rinci ini memainkan peran yang sangat penting, agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang. Kita bisa melihat apa yang menjadi hal utama, penunjangnya, faktor lain yang terkait dan sebagainya.

Dengan melakukan hal pertama, kedua dan ketiga, kita akan memperoleh suatu data yang evidence based (data berbasis bukti) untuk keputusan tindak lanjutnya.

Keempat, kita perlu menangani segera mereka yang depresi.

Kalau depresi ternyata juga terjadi di berbagai program pendidikan lain, atau bahkan masyarakat umum (bila sudah ada analisis serupa seperti hal pertama dan kedua di atas), bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi.

Untuk mengatasi depresi, baik pada dokter peserta PPDS atau masyarakat lainnya, dunia kesehatan dan kedokteran kita amat mampu melakukannya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengobatan depresi meliputi penanganan psikologik dan juga obat-obatan.

Baca juga : Hari Keselamatan Pasien Sedunia 2023, Prof Tjandra Ingatkan Konsep REEA

Penanganan psikologik merupakan pendekatan pertama, yang dapat dikombinasikan dengan obat anti depresan pada kasus sedang dan berat.

"Yang jelas, kalau memang ada gangguan depresi dengan berbagai tingkatan, maka para petugas kesehatan jiwa sudah amat menguasai cara penanganannya," cetus Prof. Tjandra.

Kelima, pemerintah juga perlu memberi sarana dan kemudahan, agar para PPDS dapat menjalankan pendidikannya dengan baik.

Ingat, tenaga dokter dan dokter spesialis amat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan kita.

Sebagai pembanding, disampaikan pula hasil penelitian di luar negeri. Penelitian ini bersifat meta analisis, atau mengkompilasi data dari banyak penelitian serupa yang dilakukan di berbagai tempat.

Laporan penelitian kali ini adalah berdasar 31 studi cross-sectional dengan 9.447 dokter residen (yang setara dengan dokter PPDS kita) serta 27 penelitian longitudinal (mengikuti perkembangan peserta yang disurvei dalam beberapa waktu, atau tidak hanya sekali ditanya saja) terhadap 8.113 dokter residen pula.

Hasilnya, angka depresi pada dokter residen (setara PPDS) di luar negeri rata-rata mencapai 28,8 persen, dengan kisaran antara 20,9 persen sampai 43,2 persen. Lebih tinggi dibanding angka 22,4 persen pada PPDS negara kita.

"Para dokter peserta PPDS kita kelak merupakan dokter spesialis handal, dan akan melayani berbagai masalah kedokteran yang spesialistik yang dialami rakyat kita. Program pendidikannya memang tidak ringan, terutama karena di dalam berbagai aspeknya, akan berhubungan langsung dengan nyawa manusia," urai Prof. Tjandra.

"Marilah kita dukung program pendidikan dokter spesialis di negara kita, demi derajat kesehatan dan kesejahteraan anak bangsa," pungkasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.