Dark/Light Mode

Mantan Teroris, Ali Mazi Soal Pemulangan WNI Eks ISIS

Kalau Obatnya Salah Senjata Makan Tuan

Sabtu, 8 Februari 2020 09:28 WIB
WNI eks ISIS. (Foto: AFP)
WNI eks ISIS. (Foto: AFP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan bomber bom Bali, Ali Mazi ikutan angkat bicara mengenai wacana pemerintah memulangkan WNI eks ISIS ke Tanah Air. Menurut dia, jika para WNI eks ISIS itu dipu­langkan lalu obatnya salah, mereka bisa menjadi senjata makan tuan. Waduh...

Ali mendukung wacana pemu­langan WNI eks ISIS. Tetapi, ada syaratnya. Ratusan WNI itu tak bisa serta merta pulang begitu saja ke Tanah Air.

“Pada dasarnya saya sepakat. Tapi harus ada profiling ideologi. Tidak serta merta seperti membawa pulang TKI,” ujar ali kepada Rakyat Merde­ka, kemarin.

Dia mengusulkan, mereka dikelom­pokkan berdasarkan tingkat ekstremis­menya. Ada yang masuk zona merah, kuning, dan hijau. Yang masuk zona merah adalah yang ekstremismenya sudah sangat kental. Kuning, sedang atau ringan, sementara hijau, bebas dari ekstremisme.

“Kalau kooperatif dibawa pulang, kalau masih benci NKRI, tidak mengakui pemerintah, ngapain dibawa pulang?” seloroh pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian (YlP) itu.

Tanpa profiling, lanjutnya, para eks kombatan ISIS ini malah bisa jadi senjata makan tuan bagi Indonesia. Bisa saja mereka membangkitkan kembali sel­-sel terorisme di Tanah Air. Apalagi, ada beberapa jaringan teroris Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS. Kepolisian menyebut, di antaranya adalah Jamaah Ansharut Daulah dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kedua kelompok ini kerap jadi dalang sejumlah aksi teror di Tanah Air.

Baca juga : Wacana Pemulangan WNI Eks ISIS Ganggu Iklim Usaha dan Investasi

“Jangan sampai mereka pulang ke sini malah masuk jaringan (teroris) lama, membuat kerusakan di sini, melakukan aksi teror. Pemulangan ini bisa jadi senjata makan tuan kalau tanpa persiapan,” wanti­wanti dia.

Tetapi, Ali juga mengingatkan, tidak semua WNI di Suriah dan ne­gara­-negara lain, punya motif yang sama. Ada yang memang niat ber­perang dan jadi kombatan ISIS. Tetapi ada juga yang hanya terbujuk iming­-iming palsu kelompok pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi itu.

Dia menceritakan, dua minggu lalu bertemu WNI yang baru pulang dari Suriah. WNI itu mengaku dibujuk agen­-agen ISIS dengan berbagai iming-iming, salah satunya pendapatan yang besar, agar mau be­ rangkat ke sana. “Sampai sana, beda, tidak sesuai dengan yang dijanjikan,” imbuh Ali.

Nah, dengan profiling itu, peme­rintah nantinya bisa membina mereka dengan tepat begitu sudah kembali ke Indonesia. Selain profiling, para WNI ini juga harus meneken perjanjian atau agreement, serta menjalani pem­ binaan intensif.

Ali mengingatkan, akar ekstremis­me tidak tunggal. Tidak berdiri sen­diri. Ada berbagai aspek yang mem­ bangunnya. Saling berkaitan. Meto­dologi pembinaan dan penanganan yang dilakukan pun, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tiap te­roris, disebutnya punya motif dan kisahnya sendiri­sendiri.

Adik kandung pelaku teror bom Bali Amrozi dan Ali Ghufron ini, mengibaratkan ekstremisme sebagai penyakit kronis. Perlu pe­nyembuhan. Tetapi, penanganannya harus khusus. 

Baca juga : Kalau Presiden Bilang: Tidak, Menteri Apa Berani Bilang: Iya

“Ibaratnya, ekstremisme ini harus ditangani dokter spesialis. Celakanya, malah seringnya ditangani dokter umum, sehingga diagnosanya sering salah. Semacam orang sakit lambung, malah dikasih obat jantung,” sesal Ali.

Para eks kombatan ISIS yang diistilahkan Ali sebagai Isisser ini, masih punya harapan untuk sembuh. Asal ya itu tadi, metode pem­binaannya tepat. “Resep dan obatnya harus tepat. Dosisnya juga. Kalau terlalu besar malah bisa overdosis, meninggal. Kekurangan, ya nggak sembuh,” tuturnya sambil tertawa.

Semua pihak terkait seperti BNPT, BIN, Kepolisian, Kemenag, Ke­mensos, serta tokoh­-tokoh agama, kata dia, harus bersinergi melakukan pembinaan secara komprehensif. Bahkan, Ali menilai, pembinaan para eks kombatan ISIS ini juga bisa dilakukan dengan melibatkan para eks narapidana kasus terorisme.

“Biayanya memang mahal. Tapi kita bicara kemanusiaan. Masih ba­ nyak perempuan dan anak­anak yang masih ada di sana (Suriah). Dan tidak semua punya motif yang sama,” wantinya lagi.

Ali meminta, masyarakat tidak berpikiran negatif dulu terhadap para WNI yang akan kembali dari Suriah. Mereka punya hak untuk tidak kehilangan statusnya sebagai warga negara. Dan, negara berkewajiban melindungi warga negaranya.

“Hasil pengalaman saya, Isiser masih mau kok untuk ikrar kembali setia pada Pancasila dan NKRI, menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kita positif thinking dulu,” ungkap Ali.

Baca juga : Mahfud Ingatkan Terorisme Sangat Berbahaya Bagi Kemanusiaan

Eks pentolan Jamaah Islamiyah (JI) itu menyebut, para WNI dari Suriah itu nantinya bisa bermanfaat. Ketika bertobat, mereka bisa digunakan pemerintah untuk melakukan kontra­ narasi terhadap doktrin­doktrin ekstremisme ISIS. Ini mencegah berkembangnya paham radikal itu.

“Mereka bisa menceritakan penga­lamannya, ternyata yang terjadi di sana (Suriah) tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau didengar,” ucapnya.

Presiden Jokowi sebelumnya se­cara pribadi menolak 600­an WNI eks ISIS yang sudah membakar pas­por mereka. Meski begitu, Jokowi menegaskan hal tersebut masih akan dibahas dalam rapat terbatas bersama kementerian/lembaga terkait.

Hingga kemarin, pemerintah belum me­mutuskan pemulangan para WNI dari Suriah itu. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan masih menimbang antara manfaat dan mudharatnya. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.