Dark/Light Mode

Melawan Corona: Meredam Stigma, Menguatkan Sikap Pro-Sosial

Jumat, 24 April 2020 20:52 WIB
Muhammad Farid
Muhammad Farid

RM.id  Rakyat Merdeka - Sampai tulisan ini dibuat, data update nasional dalam situs www.covid19.go.id menunjukkan, sebanyak 6.760 kasus terpapar corona, dengan rincian; 5.423 pasien rawat, 590 orang meninggal dunia, dan sebanyak 747 orang telah dinyatakan sembuh. Data-data ini sekaligus menunjukkan betapa masifnya penyebaran virus ini. Masif, berarti cepat, sangat kuat (solid) dan bergerak secara besar-besaran. Penyakit yang menyebar massif tentu saja mengandaikan soliditas sekaligus solidaritas bersama. Tanpa hal itu, bukan hanya terpapar korona, kita justru akan terkapar bersama-sama.

Dari Stigma sampai Perilaku Anti-Social (Antisocial Behavior)

Di tengah pandemi yang begitu hebat, kita dikejutkan dengan fenomena stigmatisasi yang justru marak di tengah masyarakat. Seperti kasus penolakan terhadap dokter dan perawat pasien virus corona oleh warga perumahan mereka (CNNIndonesia, 25/03/2020). Juga penolakan terhadap keluarga pasien positif corona (Republika, 09/04/2020). Dokter, perawat medis ini dipandang layaknya aib masyarakat, dan karenanya tidak pantas lagi tinggal bersama warga sekitarnya.

Kasus stigma lain yang lebih miris, adalah sikap paranoid warga yang menolak pemakaman jenazah positif corona yang terjadi di beberapa daerah (vivanews, 10/04/2020). Bahkan ada warga yang sampai begitu tega memasang spanduk penolakan berukuran besar di lokasi pemakaman (rmco.id, 01/04/2020). Sebagian lain malah nekad berkelahi di tengah pemakaman!

Kepanikan bisa dipahami sebagai sesuatu yang wajar, mengingat pandemi yang cepat menyebar. Tapi, ketakutan berlebihan (paranoia) itu jika sampai pada titik kulminasinya, justru akan melahirkan problem baru yang lebih besar; Perilaku Anti-Social!

Perilaku anti-sosial (antisocial behavior) diartikan sebagai perilaku yang muncul akibat ketidakmampuan individu untuk menghormati hak-hak orang lain (Frick, 1998; dalam Fortin, 2003). Bentuk-bentuknya termasuk vandalisme, kenakalan, penyerangan, pencurian, pembakaran, dan tindakan kejahatan lainnya yang melawan norma sosial. Sementara menurut Farrington (2005), perilaku antisosial dikategorikan sebagai “gangguan perilaku”, seperti; tindakan intimidasi, atau agresi fisik maupun psikologis. Artinya, pada level rendah, bentuk dari tindakan anti-sosial bisa mulai dari menista seorang atau kelompok ras tertentu, atau tindakan mencoret-coret dinding dengan intensi rasis, atau bahkan meludah di depan orang lain (sebagai bentuk protes), sampai pada level tertinggi, yaitu tindakan kriminal melawan hukum dan norma masyarakat, seperti membunuh.

Perilaku anti-sosial bersumber dari problem psikologis. Berawal dari ketakutan berlebihan (paranoia), yang memandang orang lain selalu memusuhi dirinya dan akan mencelakakan dirinya. Akibat paranoid itu, membuat siapapun gampang menuduh orang lain sebagai musuh, atau si “pembawa penyakit/virus”. Seperti yang terjadi belakangan ini; penolakan terhadap dokter, perawat, pasien, sampai mayat tadi, adalah contoh sikap anti-sosial yang bersumber dari paranoid.

Baca juga : Makin Hari Makin Menggembirakan

Tapi tidak hanya di Indonesia, bahkan di luar negeri pun sikap paranoid dan perilaku anti social terjadi. Seperti dalam laman berita dailymail.co.uk, yang menyebutkan Amerika dan Australia saat ini semakin meningkatkan kampanye sikap anti-orang cina (20/04/2020). Meskipun, ini mungkin hanya tuduhan saja. Tapi apa yang muncul dan viral dalam video pendek di media social yang mempertontonkan percekcokan antar warga local dan dua pasangan Cina di sebuah swalayan Australia, boleh jadi berawal dari stigma orang cina sebagai “biang kerok” virus corona.

Perilaku anti-sosial juga ditandai dengan tindakan abai terhadap hak-hak orang lain. Akibat kecurigaan berlebihan ini, membuat orang acuh tak-acuh atau tidak peduli kepada orang lain. Seperti yang terjadi dalam beberapa video viral lainnya, yang mempertontonkan detik-detik kematian seorang yang “dibiarkan” mati di pinggiran trotoar (ada juga yang di depan toko), sementara orang banyak justru hanya menonton tanpa satupun yang datang membantu. Ada semacam ketakutan luar biasa di pikiran banyak orang, bahwa korban dipastikan positif korona. Padahal banyak berita mengabarkan korban-korban itu justru berpenyakit epilepsy, atau sesak nafas atau bahkan jantungan yang justru butuh bantuan segera.

Skala bahaya corona menjadi semakin luas; bukan sekedar soal penyakit medis tapi melebar menjadi penyakit social. Bukan saja meyebabkan kematian individual, tetapi sekaligus juga penyebab kematian solidaritas social, yang justru sangat-sangat dibutuhkan saat ini.

Membengkaknya Keresahan Sosial (Social Unrest)

Ada problem lain yang juga sedang mengintip sebagai dampak dari wabah covid19 ini, yaitu keresahan social (social unrest). Hal ini diduga akan terjadi seiring dengan semakin ketatnya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai kota, melalui seruan social distancing (SD), work from home (WFH), sampai tagar #DiRumahAja. Seruan itu bisa dipahami sebagai sebuah upaya logis dan positif dalam mencegah penyebaran virus. Namun pada praktiknya menyimpan potensi yang cukup mengkuatirkan.

Di satu sisi, kebijakan PSBB, SD, dan WFH cukup efektif mencegah penyebaran virus, namun bagaimanakah mengatasi problem pemasukan para pemilik warung pinggir jalan yang semakin hari semakin sepi pembeli? Bagaimana mengatasi penghasilan warga yang bekerja sebagai pengantar barang yang terus berkurang akibat pelarangan? Belum dihitung problem pegawai yang dirumahkan, atau mereka yang terkena dampak PHK dari perusahaan?! Pandemi corona sekali lagi memberikan efek kejut yang sangat mengkuatirkan bagi kehidupan social; keresahan social!

Regina (2014) dalam Social Unrest: A Systemic Risk Perspective, menyebutkan bahwa keresahan sosial (social unrest) dapat berisiko tergantung pada manifestasinya. Agen risiko (bahaya) akan berdampak pada objek risiko yang bernilai bagi masyarakat. Dan objek risiko yang terdampak kemudian dapat menjadi penyebab risiko lebih lanjut ke objek lain atau bahkan memicu umpan balik ke sumber resiko (Regina, 2014:125-126). Kerusakan yang timbul dalam gambaran Renn (2008) seperti kerusakan fisik atau psikologis terhadap benda-benda berharga manusia, termasuk harta benda, kesehatan, bahkan nyawa (Renn / Zwick 2008).

Baca juga : Merasa Benar dengan Sikap Parnoan

Konkretnya, keresahan social dapat menjadi pemicu atau bahaya awal yang menyebabkan kerusakan di daerah lain, misalnya kerugian ekonomi akibat sabotase teknologi atau boycot. Situasi ini diistilahkan Regina (2014) sebagai “risiko sistemik”. Istilah “sistemik” sekaligus menunjukkan jangkauan risiko terhadap kesehatan manusia, lingkungan, ekonomi atau kesejahteraan individu tertanam dalam konteks yang lebih besar dari aspek sosial dan budaya.

Menguatkan Sikap Pro-Sosial (Prosocial Behavior)

Melihat besarnya resiko akibat pandemi global ini, maka yang justru diperlukan adalah sikap pro-sosial dari warga masyarakat dan pemerintah untuk saling peduli dan mendukung kerja-kerja konkret demi percepatan penanganan korban. Perilaku prososial (prosocial behavior) artinya tindakan yang berimplikasi positif bagi orang lain melalui bantuan yang menguntungkan orang lain tanpa harus memperdulikan keuntungan dirinya, bahkan (si penolong) turut mengambil resiko bagi dirinya sendiri (Baron dan Byrne, 2005).

Defenisi prososial di atas mengandaikan sikap fully respect yang melandasi segala upaya penanganan wabah covid19, jauh dari bias kepentingan pribadi maupun kelompok, apalagi politis. Di level pemerintah, sepatutnya dihentikan sikap-sikap yang terlalu memprioritaskan aspek lain yang kurang mendesak seperti pertumbuhan ekonomi daripada keselamatan warga masyarakat, juga sikap abai terhadap saran dan kritikan dari warga terutama kaum ilmuan dan akademisi kedokteran terkait penanganan wabah. Keterbukaan sikap pemerintah mutlak dilakukan mengingat pandemi covid19 ini adalah musuh bersama, dan tidak mungkin dilakukan sendiri oleh aparat pemerintahan tanpa upaya bersama masyarakat.

Sementara di level warga, sudah seharusnya menguatkan kembali sensitifitas social untuk peduli sesama, menjauhi stigma, dan rela berkorban untuk kepentingan mereka yang sangat membutuhkan, terutama para korban dan keluarganya. Efek dari sikap prososial ini akan menjadi semacam formula positif yang memberikan efek psikologis rasa aman dan nyaman kepada para korban, yang pada akhirnya semakin mempercepat proses pemulihan mereka.

Bagaimana dengan anjuran pemerintah soal physical distancing, atau work from home (WFH)? Apakah seruan SD dan WFH justru menyokong sikap anti-sosial? Atau dengan kata lain kontraproduktif dengan semangat pro-sosial? Tentu saja tidak. Physical distancing adalah menjaga jarak fisik, sementara perilaku anti-sosial bersumber dari gangguan psikologis seseorang yang memicu prasangka negatif kepada orang lain. Dari prasangka melahirkan tindakan tidak hormat kepada orang lain. Artinya, menjaga jarak sosial (social distancing) jelas berbeda dengan stigma social, apalagi anti-sosial!

Demikian halnya seruan Work From Home (WFH), sejatinya tidak menjadi justifikasi untuk bersikap abai dengan urusan orang lain, dan hanya sibuk dengan urusan pekerjaan sendiri. Tetapi seruan itu justru harus dimaknai sebagai momentum untuk lebih peduli kepada sesama, sekalipun jarak memisahkan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menyebar informasi terkait bahaya virus dan upaya pencegahannya. Bekerjasama terus menerus dalam mensosialisasikan karakter wabah covid-19 ini kepada khalayak lewat media sosial, pamphlet, meme, dan lainnya, semata untuk tujuan keselamatan dan kemaslahatan bersama.

Baca juga : Mudahkan Industri Pertambangan, Micromine Luncurkan Subscriptions Bundles

Sikap ambil bagian dalam menyebarkan pengetahuan dan informasi terkait wabah virus akan turut memperkaya wawasan dan meningkatkan kewaspadaan kita terhadap wabah itu sendiri. Hal mana yang sangat penting untuk mengatasi kepanikan dan ketakutan berlebihan (paranoia) kepada orang lain. Bagi seorang yang memiliki literasi yang baik terkait wabah akan dengan tanpa ragu bersikap prososial kepada orang lain karena kemampuannya mengidentifikasi apakah seseorang itu sehat ataukah telah terpapar virus pandemic. Kemampuan literasi sekaligus menghindarkan dirinya dari sikap abai, apalagi anti-sosial kepada orang lain.

Maka dalam menghadapi situasi pandemic ini, kuncinya ada pada literasi, yang dari sana akan meningkatkan kewaspadaan kita bersama, sambil tetap mengedepankan perilaku pro-sosial kita kepada orang lain.

Muhammad Farid

Penulis adalah Alumni Program Doktor Ilmu Sosial, Universitas Airlangga Surabaya dan Pengajar Ilmu Sosial, STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.