Dark/Light Mode

Telusuri Penuntutan Perkara Djoko Tjandra

Bareskrim Periksa Mantan Ketua KPK Antasari Azhar

Jumat, 21 Agustus 2020 07:23 WIB
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar (Foto: Istimewa)
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) mengorek keterangan dari Antasari Azhar. Langkah ini untuk menelusuri proses penyidikan sampai penuntutan perkara cessie Bank Bali.

Mantan Ketua KPK itu pernah menangani kasus yang menjerat Djoko Tjandra. “Iya, saya diminta kepolisian menjelaskan duduk perkara cessie Bank Bali,” aku Antasari usai pemeriksaan. “Sudah tepat penyidik minta keterangan saya, karena rnemang saya yang tangani sejak awal, sebagai penyidiknya dan penuntut umumnya,” lanjutnya. 

Penyidikan kasus cessie Bank Bali dilakukan pada 1998. Setahun kemudian, perkara ini dilimpahkan ke penuntutan. “Penyidik ingin tahu materi kasusnya. Itu saja. Semua sudah saya jelaskan,” ujar mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. 

Baca juga : Kasus Djoko Tjandra, Bareskrim Periksa Antasari Azhar

Antasari berharap, keterangan yang disampaikannya menjadi bahan analisa penyidik kepolisian dalam melihat perkara secara utuh. Dalam pemeriksaan ini, Antasari diminta menjawab 10 pertanyaan. Seluruh materi pertanyaan berkutat soal cessie Bank Bali. “Tidak ada hal di luar substansi penanganan dan penuntutan perkara cessie Bank Bali,” tandasnya. 

Djoko Tjandra merupakan tersangka kasus cessie Bank Bali Rp 904 miliar. Perkara ini mencuat berdasarkan laporan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Bismar Mannu pada 27 September 1999. Atas laporan itu, Kejagung menahan Djoko Tjandra pada 29 September 1999-8 November 1999. Antasari kemudian bertugas sebagai jaksa penuntut umum perkara ini. 

Djoko Tjandra didakwa melakukan korupsi. Hal itu perkuat dengan faktafakta yang menunjukkan adanya pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali. Pemindahan dana itu berdasarkan penjaminan transaksi PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) terhadap Bank Bali. Akibatnya menyebabkan kerugian negara Rp 904.642.428.369. Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan. Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima (EGP) di escrow account Bank Bali diminta jaksa agar dikembalikan pada negara. Namun tuntutan jaksa kandas. Pada 28 Agustus 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Djoko Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). 

Baca juga : Bareskrim Polri Garap Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Utara

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan jaksa terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum. Antasari selaku jaksa penuntut memutuskan kasasi pada 21 September 2000. Pada 26 Juni 2001, Mahkamah Agung (MA) memutus melepas Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Setelah sekian lama perkara sengketa cessie Bank Bali berjalan, pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK). 

Hasilnya, MA menerima PK jaksa. Djoko Tjandra pun dihukum 2 tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta. Adapun uang milik Djoko Tjandra di rekening penampungan sebesar Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara. Namun jaksa selaku eksekutor gagal mengeksekusi Djoko Tjandra yang lebih dulu kabur ke Port Moresby, Papua Nugini, sehari sebelum PK diputus. 

Pemeriksaan Antasari diduga juga terkait klaster peristiwa yang tengah diusut kepolisian. “Kami sepakat membagi peristiwa Djoko Tjandra menjadi 3 klaster peristiwa,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam keterangan pers hasil gelar perkara yang dihadiri KPK itu, Listyo menjelaskan, Klaster pertama menyangkut pelarian Djoko Tjandra ke luar negeri pada kurun tahun 2008-2009. 

Baca juga : Kasus Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra, Polri Cekal Dua Tersangka

Pada bagian lain, KPK yang mengusut perkara suap Artalyta Suryani kepada Jaksa Urip Tri Gunawan mengendus dugaan keterlibatan Djoko S Tjandra. Dugaan itu diperoleh penyidik dari hasil sadapan telepon Artalyta dengan petinggi Kejaksaan Agung. Dalam percakapan telepon itu, nama Djoko Tjandra ikut disebut. Menanggapi hal itu, KPK bereaksi mengeluarkan permohonan pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Djoko Tjandra. Tapi dalam pengembangan penyidikan, status cekal Djoko Tjandra dicabut KPK. Alasannya tidak ada cukup bukti keterlibatan bos Mulia Group itu. 

Akibat pencabutan status cekal itu, dua pimpinan KPK saat itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dituding menyalahgunakan wewenang. Mereka sempat menyandang status tersangka. Listyo menegaskan, perkara klaster pertama menyangkut Djoko Tjandra di KPK akan kembali didalami. “Klaster di tahun 2008-2009 dimana ada informasi yang nanti akan kami dalami terkait dugaan penyalahgunaan wewenang saat itu,” ujarnya. [GPG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.