Dark/Light Mode

English Please...

Rabu, 29 Mei 2019 09:41 WIB
Ngopi - English Please...
Catatan :
KRISTANTO

RM.id  Rakyat Merdeka - Saya sudah tiga kali berkunjung ke China. Pertama pada 2013, 2017, dan terakhir April 2018. Semuanya meninggalkan kesan yang sama: susah berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan orang China.

Di kunjungan terakhir, saat tiba di Beijing Internasional Airport, saya dijemput menggunakan sedan VW mewah berkelir hitam. Tapi sopirnya sama sekali tak bisa menjawab saat saya tanya, berapa lama perjalanan ke hotel. Atau apakah hotelnya jauh dari bandara atau tidak. Menyerah, saya pun diam sepanjang perjalanan.
 
Sampai di hotel Wuhuan tempat kami menginap, sopir ini menunjukkan pesan berbahasa Inggris di ponselnya, “sarapan siap sejak pukul 7 pagi. Dan rombongan wartawan harus sudah siap beraktivitas satu jam setelahnya.” Rupanya itu pesan pendek dari panitia yang mengundang saya liputan di sana. 

Kesulitan berkomunikasi berlanjut usai sarapan. Saya bertanya di front office hotel, siapa yang in charge rombongan wartawan? Soalnya, dari Jakarta saya berangkat sendirian dan tak diberitahu nomor telepon panitia. Di lobi hotel pun tampak sepi-sepi aja.

Baca juga : Oli Mesin Paslon

Tapi wanita petugas di front office tampak kesulitan memahami pertanyaaan saya, meski sudah diulang lima kali. Akhirnya dengan nada stress dan sambil menarik nafas panjang, dia menyodorkan ponselnya ke saya. Buat apa? Rupanya petugas ini pengen saya mengulangi pertanyaan itu di ponselnya, dan nanti ada aplikasi yang menterjemahkan pertanyaan saya ke bahasa Mandarin. 

Namun hal ini ternyata tak juga membantu. Akhirnya saya memilih nongkrong di lobi. Saya membatin, di hotel bintang empat saja, stafnya tidak bisa bahasa Inggris, bagaimana masyarakat kebanyakan? 

Dari pengalaman inilah saya sempat menyimpulkan, penguasaan bahasa Inggris di China lebih buruk dari negara kita. Soalnya saya tak bisa membayangkan di Indonesia, ada staf hotel, terutama bintang 4 tak bisa berbahasa Inggris. Sejumlah teman yang pernah pergi ke China juga punya kesimpulan yang sama dengan saya.

Baca juga : Demo Bawa Tisu Basah

Namun ternyata kesimpulan saya tak sepenuhnya benar. Saat hendak menulis artikel ini, saya browsing soal penguasaan bahasa Inggris di dunia. Berdasarkan survei global “English Proficiency Index” tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 39. Beda tipis dari China yang ada di peringkat 36 dari 80 negara dunia. Di Asia, negara yang masyarakatnya paling fasih cas cis cus bahasa Inggris adalah Singapura, Malaysia dan Filipina. Tiga negara ini berada di peringkat 5, 13 dan 15. Peringkat pertama di tempati Belanda.

Bukti lain bahwa kesimpulan saya kurang pas didapat di Shenzen, kota terakhir kunjungan saya di China. Di sini, saya diajak berkeliling kawasan komersial Luohu. Bertingkat lima, tempatnya mirip Blok M Plaza, Jakarta. Ini merupakan surga barang-barang tiruan bermerk. Dari mulai jam tangan, tas, sepatu sampai barang-barang elektronik.

Yang mengejutkan, para pedagang di sini tak hanya jago bahasa Inggris, tapi juga bisa Indonesia dan Melayu sedikit-sedikit. “Sudah murahlah ini,” ujar seorang pedagang elektronik dalam bahasa Indonesia, saat saya menawar sepasang walkie talkie. Menurut pedagang ini, dia bisa berbahasa Inggris karena banyak bule yang belanja di kawasan ini. “Saya juga bisa bahasa Indonesia karena banyak turis Indonesia dan Malaysia belanja di sini,” ucap pedagang itu dalam bahasa Inggris. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.