Dark/Light Mode

Catatan Yorrys Raweyai

Merespons Papua Yang Sedang Membara

Rabu, 19 April 2023 13:14 WIB
Yorrys Raweyai (Foto: Istimewa)
Yorrys Raweyai (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sepanjang awal tahun 2023, aksi-aksi kekerasan di Papua terus terjadi. Setelah sebelumnya, tepatnya pada 23 Februari lalu, kerusuhan di Wamena yang dilatari dugaan penculikan anak menyebabkan 12 orang meninggal dunia, 18 orang dari aparat keamanan serta 32 orang warga sipil terluka, terkini, pada Sabtu, 18 April lalu, pencarian pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, di wilayah Nduga, Papua Pegunungan, menelan korban dari aparat TNI.

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengungkap, 5 orang mengalami luka tembak, 4 orang dinyatakan masih belum diketahui keberadaannya, sementara 3 orang dinyatakan gugur. Mereka tergabung dalam operasi teritorial pembebasan pilot tersebut. Peristiwa ini juga memicu status operasi menjadi “siaga tempur darat” dalam menghadapi Kelompok Kriminal Bersenjata Pimpinan Egianus Kogoya.

Entah Sampai Kapan
Kekerasan demi kekerasan terus terjadi, justru di tengah lahirnya berbagai kebijakan baru dalam merespons dinamika kehidupan di Tanah Papua. Ironisnya, kebijakan-kebijakan tersebut seakan tidak bergayung sambut dengan kenyataan. Suara-suara kemerdekaan Papua semakin nyaring terdengar. Bahkan dijadikan objek tawar-menawar pembebasan sandera.

Mungkin juga, suara-suara tersebut telah menjadi inspirasi “laten” dalam benak dan kepala Orang Asli Papua. Bagi mereka, integrasi Papua ke wilayah kedaulatan NKRI belum sepenuhnya dapat diterima. Sejarah kelam masih menganga untuk ditafsirkan dari berbagai sisi. Selebihnya, injeksi kekuasaan yang terus-menerus menyajikan kebijakan-kebijakan baru di bidang sosial politik dan ekonomi, tidak memberi ruang diplomatis sedikitpun untuk sekadar bersedia mengistirahatkan laras panjang dan moncong peluru. “Darurat Kemanusiaan” pun hanya puisi dan nyanyian kerinduan. Entah kapan menjadi prosa yang akan dikonsumsi oleh semua pihak yang sedang menjalani hari demi hari di wilayah ufuk timur tersebut.

Pada saat yang sama, para elite pengambil kebijakan berjalan dengan napasnya sendiri-sendiri. Representasi formal pemerintahan daerah Tanah Papua yang terdiri dari para Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, serta representasi kultural Majelis Rakyat Papua (MRP), pun lebih banyak bergeming. Bahkan hingga saat ini, MRP memandang kebijakan baru Otonomi Khusus Jilid II tidak merepresentasikan kehendak Orang Asli Papua.

Baca juga : Sandi: Allah Yang Tentukan Melalui Pimpinan Parpol

Sementara itu, berulang kali Pemerintah menyebut kebijakan-kebijakan baru tentang Papua adalah respons terbaik untuk mengakomodasi persoalan yang menggeliat saat ini. Kekeliruan pengelolaan tatanan pemerintahan Papua masa lalu memerlukan perubahan signifikan. Otonomi Khusus Jilid II dengan berbagai aturan turunannya merupakan jawaban dari segala kelemahan.

Tapi, pada kenyataannya, pendekatan sosial, politik dan ekonomi-kesejahteraan tidak serta-merta melahirkan perubahan signifikan. Puluhan tahun kecemasan tentang Papua tidak dapat diantisipasi hanya dengan tambal-sulam kebijakan, tanpa menjamah akar masalah sesungguhnya. Belum lagi jika kebijakan tersebut senantiasa mengalami masalah konsistensi penerapan di lapangan, akibat dinamika persoalan yang sudah terlanjur pelik dan rumit.

Solusi Komprehensif
Pada konteks inilah, Majelis Perwakilan Rakyat untuk Papua (MPR for Papua) senantiasa mengambil langkah inisiatif untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian persoalan. Dengan melibatkan para wakil rakyat Papua yang berada di DPR dan DPD, MPR for Papua memandang dinamika Tanah Papua sebagai persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Dibutuhkan komunikasi intensif lintas sektoral dengan melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan kedamaian di Tanah Papua.

Mungkin, pandangan MPR for Papua cukup klise untuk diterapkan. Tapi itulah kenyataan saat ini. Tidak ada satupun suara representatif yang mampu mewakili kehendak masyarakat Papua yang sudah terlanjur berkembang, plural, majemuk dan mengglobal. Berbagai kepentingan telah memasuki ruang belantara polemik. Mengatasnamakan satu pihak dan mengabaikan pihak lain, hanya akan menambah kerumitan dan melahirkan pertentangan yang tidak berkesudahan.

Belum lagi wilayah geografis Papua yang memiliki ciri khas tersendiri dan memungkinkan tumbuh suburnya perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada titik tertentu, peristiwa-peristiwa di pelosok pedalaman dan pegunungan, justru menggambarkan situasi Tanah Papua secara keseluruhan. Lalu, di mana efek sumber daya dan kekayaan alam yang sejatinya menyatukan? Bukankah kenyataan itu saat ini justru menjadi dongeng bagi masyarakat Papua untuk meraih kehidupan yang lebih baik?

Baca juga : Mempersiapkan Mudik Yang Berkesan

Hingga saat ini, MPR for Papua masih “bermimpi” tentang terwujudnya sebuah “dialog nasional” untuk mengulang momen masa 1999 silam di hadapan Presiden B.J. Habibie. Dalam format yang lebih demokratis, dialog tersebut dipandang mampu menghasilkan solusi komprehensif tentang masa depan Tanah Papua. Impian tersebut memang tidak mudah dilakukan tanpa dengan kebesaran hati dan pemikiran semua pihak. Apalagi jika hasil dialog tersebut justru berseberangan dengan kehendak pemerintah. Tapi, apapun usaha tersebut, segala cara harus dipikirkan secara bersama-sama.

Sementara itu, MPR for Papua memandang pentingnya komunikasi intensif dengan berbagai representasi formal dan kultural Papua, baik yang sedang memegang peran di daerah, maupun yang sedang menyuarakan aspirasinya secara sistemik di gedung parlemen. Majelis Perwakilan Rakyat bahkan telah mengakomodasi serangkaian perbincangan formal dengan mengatasnamakan MPR sebagai Rumah Kebangsaan. Meski pada kenyataannya, pemerintah masih memandang sebelah mata dengan memilah-milah kehadiran dan partisipasi dalam ruang-ruang diskursif tersebut.

Pendekatan Persuasif     
Kekerasan demi kekerasan yang terjadi justru menjelang tahun politik 2024, seakan menunjukkan bahwa Tanah Papua masih jauh dari harapan sebagai Tanah Damai. Kenyataan itu memerlukan respons yang terencana, terukur dan sistematis. Bukan sebaliknya, bereaksi berlebihan dan terkesan hanya bertukar balasan. Sudah waktunya, pemerintah membuka diri atas berbagai kebijakan yang sedang dijalankan dengan melibatkan berbagai pihak, khususnya representasi masyarakat Papua itu sendiri.

Sebab dalam berbagai kasus, aparat keamanan tidak hanya sedang berhadapan dengan KKB atau Tentara Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TNPB-OPM), tapi juga memperhadapkan Orang Asli Papua dengan masyarakat pendatang yang telah berbaur sekian lama. Aparat pun diharapkan menjadi penengah dan penjamin keamanan dan ketertiban tanpa pandang bulu.

Oleh karena itu, MPR for Papua memandang pentingnya pendekatan persuasif dalam menangani berbagai peristiwa kekerasan di Papua. Selain tindak lanjut proses hukum yang maksimal, pendekatan persuasif mampu menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya terjadi dan memicu berbagai peristiwa selama ini.

Baca juga : Cerita Vina Panduwinata Dirikan Yayasan Pejuang Kanker

MPR for Papua juga mendesak pemerintah daerah dan representasi kultural masyarakat Papua untuk berperan aktif dalam merespons peristiwa-peritistiwa kekerasan di wilayahnya masing-masing. Sebagai pihak yang terlibat langsung setiap saat, mereka perlu menyuarakan suara-suara kedamaian dalam berbagai sisi dan perspektif. Sementara itu, pemerintah pusat pun perlu untuk menjadikan suara mereka sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan.

Kita tidak mungkin menyelesaikan persoalan Papua dalam waktu singkat, namun niat baik untuk menyelesaikan masalah perlu ditunjukkan ke khalayak publik. Fenomena Papua telah menjadi konsumsi global, bukan hanya dalam negeri tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Di era yang semakin terbuka, kekerasan berbalas kekerasan bukan lagi pilihan pertama, mendahului alternatif pilihan lainnya sebagai bentuk usaha preventif dan persuasif yang dilakukan secara bersama.

Wajah Papua tentu tidak cukup digambarkan dengan kekerasan yang terjadi selama ini. Masih banyak gambaran yang patut diajukan ke hadapan publik dan menanti respons yang arif dan bijaksana. Penggambaran itulah yang memerlukan narasi solutif dengan mengedepankan suasana dialogis yang harus dijahit perlahan dengan ketekunan dan kesabaran semua pihak.■

Yorrys Raweyai
Ketua MPR for Papua/Anggota DPD RI Dapil Papua

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.