Dark/Light Mode

Tanah Adat Papua Diserobot Pengusaha

Warga Sulit Cari Keadilan

Jumat, 7 Juni 2024 07:15 WIB
Anggota Komisi X DPR Robert J Kardinal. (Foto: Istimewa)
Anggota Komisi X DPR Robert J Kardinal. (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Untuk itu, politisi Golkar daerah pemilihan Papua Barat Daya ini berharap, sengketa lahan di Papua ini jadi pelajaran untuk ke depan agar Pemerintah hendaknya bertindak sebagai fasilitator. Pemerintah bisa ber­tindak Pejabat Catatan Sipil yang berdiri di tengah-tengah antara investor dan masyarakat adat.

“Biarlah pemilik tanah dan investor ini berunding sendiri. Pemerintah cukup mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Bila perlu menjaga supaya kepentingan-kepentingan masyarakat adat ini bisa terpenuhi,” ucapnya.

Jangan juga, lanjutnya, investor cuma datang ke Pemerintah, terus tidak melihat ke bawah, tiba-tiba izinnya keluar. “Amdalnya keluar. Padahal Amdal itu kan juga harus melibatkan masyarakat yang ada di situ,” bilangnya.

Baca juga : Harga Beras Biasanya Naik Jelang Idul Adha

Robert menilai, Pemerintah sebaiknya mengubah cara pan­dang terhadap pengelolaan sum­ber daya alam di Papua. Tidak sekadar melayani pengusaha, tapi juga membela kepentingan masyarakat adat.

Untuk itu, dia mendesak ne­gara untuk ikut agar semua izin hak guna usaha yang ada tanpa melibatkan masyarakat adat itu dibatalkan seluruhnya.

“Oke-lah kalau pelaku usaha mau kerja di Papua. Tapi Papua ini kan ada yang punya tanah, ya duduk bersama, bicarakan. Apak­ah penyertaan modal tanahnya itu dengan investor, bagi hasil atau bagaimana, tapi diselesaikan oleh mereka berdua (pelaku usaha dan masyarakat adat). Pemerintah cu­kup mengesahkan aturan, izinnya saja,” pesannya.

Baca juga : Indonesia-Korsel Garap Proyek Perubahan Iklim

Sementara, anggota DPRD Provinsi Papua John NR Gobai mengatakan, di beberapa daerah di Papua memang terdapat ribuan hektare sawit yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin.

Sayangnya, keberadaan peru­sahaan sawit ini malah memicu konflik dengan masyarakat se­tempat. “Ada yang mendukung, ada juga yang meminta perusa­haan ditutup,” katanya.

Menurutnya, pemicu konflik perusahaan sawit dan masyara­kat lantaran penerimaan resmi dari sawit yang selama ini disetor ke pemerintah pusat. Sementara, pemerintah daerah mendapat sedikit, tidak sebanding dengan jumlah sawit dan minyak sawit yang keluar dari pohon sawit ditanam di tanah Papua.

Baca juga : Hewan Kurban Di Jakarta Sehat Dan Layak Konsumsi

“Mungkin kecil karena masuk ke kantong pribadi oknum peja­bat,” ujarnya.

Untuk meredam konflik di Pa­pua ini, menurutnya, Pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan izin untuk penambahan kebun kebun sawit. Sebab nyatanya, kehadiran sawit telah merusak sumber kehidupan masyarakat. Sawit juga telah merusak sumber hidup, sumber tanaman obat dari masyarakat. Yang lebih parah, kehadiran sawit malah membuat banyak daerah ping­giran banjir.

Artikel ini tayang di Rakyat Merdeka Cetak edisi Jumat, 7 Juni 2024 dengan judul Tanah Adat Papua Diserobot Pengusaha, Warga Sulit Cari Keadilan

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.