Dark/Light Mode

Menakar Pemimpin dari Perspektif Tembang Gundul-gundul Pacul

Senin, 18 Desember 2023 14:12 WIB
Dari kiri: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, dalam debat Capres, di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12). (Foto: Ng Putu Wahyu Rama)
Dari kiri: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, dalam debat Capres, di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12). (Foto: Ng Putu Wahyu Rama)

Tembang dolanan adalah lagu yang dimainkan dengan bermain-main, salah satunya pada lagu Gundul-gundul Pacul. Lagu ini dikenal sebagai lagu khas Jawa Tengah dan sering dinyanyikan anak-anak. Mengutip situs PUI Javanologi UNS (2022), lagu Gundul-gundul Pacul ditulis Sunan Kalijaga pada tahun 1400-an dibantu oleh R.C Hardjosubroto. Lagu ini merupakan senandung permainan anak dengan lirik Bahasa Jawa dan memiliki makna-pengartian yang multidimensi.

Tembang dolanan dengan kesan riang gembira dan jenaka ini, esensinya merupakan sindiran (kritik) bagi pemimpin yang abai, juga nasihat bagi pemimpin sewaktu mengemban amanah dari rakyatnya. Meskipun di struktur sosial masyarakat paternalistik, bangsa kita masih memiliki kelekatan karakter, ketergantungan tinggi terhadap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal. 

Konteks bahasan ini mencoba mengkorelasikan dan mendedah makna tembang Gundul-gundul Pacul sebagai penumpu kriteria pemimpin ideal, seiring perjalanan kontestasi Pilpres 2024

Gundul-gundul pacul-cul gembelengan, gundul (botak tanpa rambut) adalah orang yang sudah tidak memiliki mahkota lagi. Sedangkan pacul atau cangkul adalah alat perkakas pertanian yang selalu digunakan kaum petani dalam budaya agraris. Norman Hadinegoro, (2023) menjabarkan makna pacul, sebagai papat kang ucul (empat yang lepas) merupakan analogi keempat panca indera manusia yang fungsinya tak digunakan sebagaimana selayaknya (telinga, mata, hidung dan mulut).

Baca juga : Kawal Pemilu Damai, Kyai-Pengurus Cabang NU Kendal Kumpul Di Ponpes Darul Amanah

Perspektif pacul atau papat kang ucul (empat yang lepas) adalah kemuliaan jiwa pemimpin itu tergantung dari empat hal dalam menggunakan keempat panca indra dengan sebaik-baiknya. Yang didasari nilai kejujuran, cerdas, komunikatif dan keteladanan. Sehingga pemimpin tidak menjadi gembelengan, sombong (jumawa), sembrono dalam segala hal.

Pengertian-maknanya bahwa pemimpin itu bukanlah seseorang yang memiliki mahkota, tetapi pemimpin yang indera pengelihatannya jernih melihat realitas permasalahan rakyatnya, indera telinganya mau mendengarkan nasihat dan kritikan, indera hidungnya mampu mencium narasi kebaikan juga penderitaan hidup rakyat miskin, dan indera mulutnya mempunyai tutur kata penyambung nilai kebenaran, keberpihakan, santun, adil, bijaksana, dan dapat dipertanggungjawabkan setiap ucapan dalam tindakannya. 

Apabila, pemimpin tersebut telah kehilangan keempat unsur panca inderanya, maka perubahan karakter pemimpin menjadi sombong (jumawa) cenderung tirani bahkan menggangap dirinya sebagai raja. Sebagai pemimpin tidak lagi peka terhadap penderitaan rakyat, menjadi buta dan tuli atas kewajiban moral-etis-kemanusiaannya (ethical obligation), tak ada keadilan, bijaksana, hanya mementingkan pribadi serta golongannya, tak lagi mengayomi rakyatnya.

Sedangkan bait, nyunggi-nyunggi wakul-kul artinya membawa bakul di atas kepala. Maknanya bahwa pemimpin harus menjunjung tinggi amanah rakyat dengan rasa penuh tanggung jawab. Setelah diberikan amanah rakyat menjadi pemimpin, namun cenderung gembelengan (jumawa yang penuh dengan sikap ketidakhati-hatian) karena merasa dirinya sebagai pemimpin yang berkedudukan tinggi. Maka, wakul ngglimpang segone dadi sak latar.

Baca juga : Pancasila Wadah Persatuan Anak Bangsa untuk Hidup Rukun dan Saling Kenal

Wakul ngglimpang segone dadi sak latar bermakna amanah rakyat yang terjungkal, tidak dapat dipertahankan lagi, berakibat nasinya tumpah memenuhi seluruh halaman. Makna-pengartinya adalah saat menjadi pemimpin dalam pemerintahan (jabatan strukturalnya), kepemimpinannya gembelengan (tidak berhati-hati, sembrono), amanah rakyatnya (wakul) menjadi jatuh. Kejatuhan itu berujung kegagalan mengemban amanah rakyat.

Konteks Indonesia, kepemimpinan nasional dimulai era Orde Lama, Soekarno berkuasa, tentang demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Era Orde baru, Soeharto berkuasa, berganti warna dan pengartian demokrasinya. Pada era Reformasi, bergantinya Presiden BJ Habibie hingga Joko Widodo belum mengukuhkan juga pengartian demokrasi meskipun upaya percepatan dilakukan. 

Stimulus makna dari tembang Gundul-gundul Pacul dengan relevansi Indonesia kekinian adalah penting sebagai sebuah pepeling untuk menyejahterakan rakyat, bagi calon/pemimpin dalam mengemban amanah rakyat dengan clean and good governance, yang bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme. Kualitas pemimpin itu tak hanya ditunjukkan pada pemaparan data statistik, tetapi pemahaman bahkan pengalaman multidimensinya.

 Kriteria kepemimpinan ideal sekiranya punya sikap kenegarawan, kepedulian tinggi, cekatan melayani rakyat, menjunjung tinggi kehormatan, memiliki cipta, rasa dan karsa, tidak gila hormat, tak sombong, tak jumawa, dan penuh kehati-hatian dalam mengemban amanah rakyat. Pemimpin harus melindungi, menyejahterakan kehidupan rakyat, berbangsa dan bernegaranya, bersedia mendengar nasihat dan kritikan rakyatnya, mendahulukan amanah rakyat dibanding kepentingan pribadi ataupun golongannya, berkeadilan dan bijaksana dalam menjalankan roda kepemimpinannya. 

Baca juga : Gaet Anak Muda, Ganjar Sampaikan Program Kerja Ketimbang Gimmick

Dalam sistem demokrasi kita, tahta tertinggi milik rakyat. Maka menjadi pemimpin janganlah jumawa. Sebaiknya, pemimpin adalah seseorang yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepalanya sendiri, menjaga amanah dengan penuh rasa ketulusan hati melayani rakyatnya. Uraian syair pada tembang Gundul-gundul Lacul dapat disimpulkan secara sinkronik-diakronik sebagai wujud pengabdian manusia untuk mengemban amanah-tanggung jawab. 

Menjadi wajar jika konteks periodenya sebagai permainan (dolanan) anak-anak, namun ketika telah menjadi dewasa secara nalar politik, bukan saatnya lagi untuk bermain-main. Terlebih jika seseorang itu sedang mengemban amanah dari rakyatnya. Pesan tembang Gundul-gundul Pacul merupakan representasi karakter pemimpin yang tidak hawas, tidak mawas diri, melakukan tindakan dengan sembrono tanpa mempertimbangkan konsekuensi dalam jangka panjang dan pendek. Sehingga tindakannya dapat merugikan mayoritas rakyat, bangsa dan negaranya.

Sebagai pengunci terakhir, menyertakan tiga semboyan Ki Hajar Dewantara. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani. Artinya, di depan memberikan sikap keteladanan, di tengah menggugah semangat, di belakang memberi dorongan dan pengaruh. Sekiranya pengejawatahan semboyan tersebut masih menjadi cita-cita bersama berbangsa dan bernegara untuk mendapatkan pemimpin masa depan yang ideal. 

Lantas, dari ketiga kandidat pemimpin yang kini sedang bertarung di Pilpres 2024, adakah yang sudah merepresentasikan narasi di atas, bersemayam dalam qalbu setiap rakyat Indonesia lalu melebur ke dalam semboyan Ki Hajar Dewantara dan syair tembang Gundul-gundul Pacul? Kita bersama-sama jua akan menentukannya, kelak.

noufal riri hananta
noufal riri hananta
Arsitek Profesional, Penulis dan Pemerhati Sosial-Politik, Budaya

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.