Dark/Light Mode
Sebelumnya
Artinya, aturan FIFA ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke semua elemen persepakbolaan. Akibatnya apa? Tragedi sangat memilukan yang menelan korban sampai 131 nyawa, diantaranya puluhan anak-anak. Tragis.
Walau sepakbola dianggap sebagai “olahraga rakyat”, pendekatan dan penghargaannya jangan disepelekan. Kalau dalam istilah klasifikasi kelas penonton, jangan dianggap sebagai “kelas rakyat”. Anggapan ini bisa membuat terlena. Bisa mengkristal menjadi “mindset”.
Baca juga : Kanjuruhan, Wajah Kita
Penonton adalah raja. Rakyat adalah pemilik sah negeri ini. UUD 1945 mengamanatkan “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”.
Seringkali, menganggap rakyat hanya boleh berada di “kelas rakyat” menjebak pembuat kebijakan di negeri ini. Menjebak cara pandang dan mindset para elite dalam mendekati rakyat.
Baca juga : Idealnya, Pilpres 2024 Tidak Dua Pasang
Akibatnya, lahirlah kebijakan-kebijakan elitis, yang tidak pro rakyat, atau pembiaran-pembiaran karena hanya mindset “kelas rakyat” tadi.
Setelah Tragedi Kanjuruhan yang menyita perhatian dunia, cara pandang tersebut mestinya berubah. Budaya reaktif bisa menjadi pro aktif. Kebijakan yang dihasilkan tidak lagi hanya menjadi “pemadam kebakaran”. Tapi bisa konsisten dan berkelanjutan. Lebih proaktif.
Baca juga : Evaluasi Total dan “Keledai”
Setelah Tragedi Kanjuruhan, ada pelajaran sangat penting dan berharga yang bisa diambil. Ada transformasi budaya yang dihasilkan. Dalam segala hal. Termasuk penghargaan dan mindset terhadap rakyat.
Kalau itu terwujud, bangsa ini akan naik kelas. ■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.