Dark/Light Mode

“Pengkhianatan Es Choco Mint”

Selasa, 15 Agustus 2023 00:08 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Kenapa minuman “es coklat mint” bisa terperangkap dalam panggung politik?

Awalnya saling percaya. Lalu muncul perasaan dikhianati. Cerita ini sedang viral di Thailand, negeri yang sedang menjalani bulan-bulan politik. Negeri Gajah Putih ini sedang mencari seorang Perdana Menteri.

Es choco mint sebenarnya minuman biasa saja. Sama seperti minuman “Thai tea” yang dikenal di Indonesia. Minuman ini menjadi popular setelah menjadi minuman favorit pemimpin oposisi Paetongtarn Shinawatra. Ke mana-mana dia membawa minuman ini dan mempostingnya di Instagram.

Namun, angin berubah. Minuman ini kemudian berganti nama menjadi “minuman pengkhianatan terhadap kawan”. Nama ini diberikan kelompok yang merasa dibohongi.

Baca juga : “Pisau Mengupas Jeruk”

Kenapa? Karena, Paetongtarn Shinawatra yang dalam kampanyenya bertekad mengakhiri kekuasaan para jenderal yang mendominasi sejak kudeta 2014, tiba-tiba berakrab-akrab ria dengan para jenderal tersebut. Ada potensi mereka berkoalisi, meninggalkan kawan seiring.

Putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang menjadi kandidat kuat Perdana Menteri ini, juga berpotensi mengingkari beberapa janji lainnya. Termasuk janji akan menertibkan kekuasaan Kerajaan. Dia juga menjanjikan demokratisasi.

Rakyat kecewa. Beberapa kafe kemudian menghapus “es coklat mint” dalam daftar menu mereka. Kalau pun ada yang membeli, namanya diganti menjadi “es pengkhianatan”. Gambar-gambar tersebut diunggah di media sosial.

Begitulah politik. Pengkhianatan menjadi cerita lazim walau sangat menyakitkan. Di negeri ini misalnya, banyak kisah lokal yang menggambarkan soal ini. Kisah-kisah Kerajaan juga tak lepas dari episode pengkhianatan.

Baca juga : Peringatan Dari Erupsi Merapi

Mungkin karena “terbiasa” dengan fenomena seperti ini, bangsa ini kemudian melahirkan idiom-idiom seperti “ditusuk dari belakang”. Ada juga istilah “menggunting dalam lipatan”. Atau, “komprador asing” di zaman penjajahan. “Pagar makanan tanaman,” juga bisa dikaitkan dengan ini. 

Nama-nama seperti Sengkuni, juga kerap dilekatkan dengan fenomena ini. Di Barat, ada istilah Quisling. Istilah ini diambil dari nama Vidkun Quisling, pejabat Norwegia yang memimpin rezim kolaborator bersama Nazi selama Perang Dunia II. Quisling sudah menjadi semacam kata sendiri yang mengarah ke “pengkhianatan”.

Pengkhianatan tidak bisa semata-mata dilihat secara hitam putih. Ada latar belakangnya. Ada motifnya. Bisa jadi, ada kisah kelam yang melatarinya. Apalagi dalam politik. Sangat abu-abu. Bisa juga, yang terjadi bukan pengkhianatan, tapi “memilih jalur alternatif”.

Lepas dari apa pun, pengkhianatan, apalagi terhadap rakyat, bangsa dan negara, tidak bisa ditolerir. Kisah-kisah semacam itu jangan sampai terjadi (lagi) di negeri ini. Apalagi sekarang, jejak digital, ucapan dan tindakan para politisi bisa terekam dengan baik. 

Baca juga : Pengantar Makanan Terobos Lomba Basket

Pengkhianatan politik adalah bumbu paling pedas yang sangat menyakitkan dan tidak enak. Seperti “es choco mint” yang awalnya manis, enak dan segar, lalu berubah menjadi “es pengkhianatan terhadap kawan”. Seperti di Thailand itu.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.