Dark/Light Mode
- Produk Smooth Fluid Kilang Pertamina Dukung Capaian TKDN
- Wali Murid SMAN 70 Cenat Cenut Ditagih Rp 800 Ribu Untuk Donasi Kelulusan
- Bank DKI Salurkan KJP Plus Tahap I 2025 Kepada 707.622 Siswa Di Jakarta
- Tambah SPKLU, PLN Antisipasi Lonjakan Pemudik Kendaraan Listrik
- Pertamina Drilling Tekankan Keselamatan Kerja di Safari Ramadan 2025

RM.id Rakyat Merdeka - Cabe mahal, beras impor. Setidaknya, dua fakta itu bisa mewakili politik pangan Indonesia sekarang.
Cabe mahal bukan isu baru. Di era Orde Baru, ketika harga cabe mahal, Soeharto bahkan meletakkan pot berisi pohon cabe di atas mejanya. Saat itu sedang sidang kabinet. Cabe itu dimakannya dengan tahu.
Baca juga : “Menggoreng” 3 Periode
Pulang sidang kabinet, saat itu tiga bulan sebelum lebaran, para menteri diberi oleh-oleh benih cabe merah. Benih itu ditanam di kaleng susu. Itu perintah simbolis ala Soeharto.
Perintah itu sangat melekat dalam benak menteri Emil Salim yang pernah menceritakan kembali soal ini. Bagi Emil, urusannya bukan hanya sekadar cabe. Kalau cabenya sudah menguning, kata Emil, itu pertanda bahwa dia harus menyiapkan infrastruktur transportasi untuk para petani.
Baca juga : Jangan “Panas-panas Tai Ayam”
Itu sekadar kisah pemanis. Sejarah. Bisa mengundang pro kontra. Yang pasti, di era reformasi, harga cabe masih jadi masalah. Pertanyaannya: kenapa terus berulang?
Beras juga sama. Dari pemerintah yang satu ke pemerintah yang lain, isunya tak jauh dari impor saat musim panen. Harga turun, petani rugi. Sekarang, pemerintah akan mengimpor beras satu juta ton di saat panen raya. Impor ditugaskan ke Bulog.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.