BREAKING NEWS
 

Operator Lebih Senang Cari Untung

Industri 4.0 Terancam Sinyal

Reporter : FAJAR EL PRADIANTO
Editor : ADITYA NUGROHO
Minggu, 30 Desember 2018 16:40 WIB
DIREKTUR Utama Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Anang Latief (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Memasuki era industri 4.0, pemerintah tengah memacu dunia bisnis skala kecil hingga industri untuk terakses seluruhnya melalui internet. Namun rencana tersebut bisa terhambat, jika sinyal seluler belum menjangkau secara keseluruhan wilayah Indonesia.

DIREKTUR Utama Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Anang Latief menjelaskan, akses sinyal untuk masyarakat bukanlah tugas pemerintah melainkan operator seluler. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Telekomunikasi.

“Jadi sinyal itu urusan operator bukan regulator,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, usai diskusi Merdeka Sinyal 100 Persen dan “Menyongsong Industrialisasi 4.O,” di Jakarta, belum lama ini. 

Baca juga : Industri Mamin Waspada

Ada beberapa permasalahan dalam menyambut era industri 4.0. salah satunya adalah masalah sinyal. Sampai detik ini banyak wilayah di pelosok daerah di Indonesia belum mendapatkan akses sinyal. Akibatnya internet masih sulit diakses di banyak daerah. 

“Operator itu profit oriented mereka terus mencari keuntungan. Sinyal harus merata tapi 100 persen saya rasa sulit sekali bagi operator untuk mewujudkan,” katanya. Kondisi ini jika dibiarkan maka akan menyulitkan pemerintah dalam mensukseskan program industri 4.0. Dia mengibaratkan sinyal seperti sinar. Sinar akan menerangi wilayah atau tempat yang mudah dijangkau atau tidak terhalang. Lalu sinar akan sulit menjangkau wilayah pelosok atau yang memiliki banyak sekat. 

Adsense

“Sinyal itu seperti sinar jadi sulit untuk 100 persen mirip sekali begitu sifatnya. Bisa saja menjangkau semuanya tapi harus dengan alat tambahan, kalau mau menerapkan hingga 100 persen maka harus keluarkan cost lebih besar lagi,” jelas Anang.

Baca juga : Investor Sebut Rp 6,4 T Hanya Modal Awal Saja

Bagi operator tentu melihatlihat dulu untung ruginya. Menurutnya program pemerintah untuk membangun dari pinggiran itu sangat bagus. Hal itu mendorong kemudahan bagi operator dalam pemerataan sinyal.

Saat ini dari data yang diperoleh ada lebih dari 5000 desa belum kena sinyal. “Seperti di Papua itu sangat berat medannya. Jalanan yang ditempuh sulit,” ujarnya.
 
Dia mengungkapkan, untuk sinyal 2G saja dalam satu tahun membutuhkan sekitar Rp 1 miliar per lokasi. “Jika ribuan lokasi berapa dana yang dibutuhkan. Persoalan seperti ini tidak hanya ada di Indonesia juga di luar,” ujarnya.

Tapi untuk 100 persen itu banyak sekali kendala teknis. Dia bilang yang praktis dengan satelit tapi terbentur juga dengan dana. COO perusahaan rintisan Tukang Sayur. CO Endang Ahmad mengungkapkan, di era serba digital seperti sekarang seluruh wilayah mestinya sudah dapat diakses internet. Apa lagi usaha yang digelutinya berbasis aplikasi di Android. “Jadi kalau sinyal bisa 100 persen kena akses data maka sangat mendukung kami,” ujar Endang.

Baca juga : Acungan Jempol Buat PLTU Paiton & PLTDG Pesanggaran

Perusahaan rintisan seperti ini mencari mitra banyak dari pedesaan. Jika sinyal saja susah bagaimana warga desa bisa mendapatkan akses internet. “Kita berharap infrastruktur digital bisa lebih masif. Bisa menjangkau banyak pengguna,” tuturnya. 

Dalam urusan ini, dia bilang sebuah regulasi sangat dibutuhkan. Karena hak mendapat akses internet tidak hanya bagi masyarakat kota tapi untuk seluruh pelosok. “Padahal cita-cita kita ingin memberikan harga yang bagus buat petani,” katanya.
 
Butuh Dana Untuk melakukan pemerataan akses telekomunikasi tersebut, Direktur Utama BAKTI, Anang Latief bilang, membutuhkan dana yang lebih banyak dari dana Universal Service Obligation (USO) yang ada sekarang ini. “Dana USO ini adalah zakatnya operator telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia. Jumlahnya 1,25 persen dari total revenue yang diakui Anang mencapai Rp 2 triliun. Sulit dana itu untuk membangun di 5000 lebih desa,” kata Anang. 

Pengamat Telekomunikasi Kamilav Sagala mengkritisi kondisi bisnis operator telekomunikasi. Ia melihat, persoalannya ada pada regulasi yang lemah di Undang-Undang tentang Telekomunikasi dan Penyiaran. “Lemahnya regulasi membuat layanan OTT (Over The Top) merejalela dan akhirnya menggerus pendapatan operator,” katanya. [JAR]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense