Dark/Light Mode

Pemberian ASI Non Eksklusif Picu Stunting

Jumlah Anak Kerdil Masih Banyak Nih

Jumat, 5 Juli 2019 09:28 WIB
Ilustrasi Stunting atau kerdil yang antara lain disebabkan kekurangan gizi. (Foto : Istimewa).
Ilustrasi Stunting atau kerdil yang antara lain disebabkan kekurangan gizi. (Foto : Istimewa).

RM.id  Rakyat Merdeka - Penderita stunting atau tumbuh kerdil merupakan salah satu masalah gizi yang sedang kita hadapi. Kini, angka stunting di Indonesia masih berada di angka 30,8 persen. Angka ini tergolong tinggi. 

Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek menargetkan, angka stunting akibat kekurangan gizi turun ke level 28 persen pada akhir 2019. Bukannya apa-apa, anak adalah generasi penerus suatu bangsa di masa mendatang. 

Terkait hal ini, mahasiswi Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Sint Carolus, Dameria Saragih mempertanyakan, bagaimana kondisi sumber daya manusia di masa mendatang. Jika banyak anak Indonesia masih menderita stunting atau tubuh pendek. 

Baca juga : Lebaran di Rutan KPK, Jumlah Makanan Lebih Banyak dari Pengunjung

Karena masalah ini juga terkait dengan faktor intelektualitas anak. Dia mengaku khawatir, bangsa Imdonesia tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain menghadapi tantangan global. 

Umumnya, kata Dameria, orangtua cuma melihat perkembangan dan pertumbuhan berat badan anaknya saja. Jika berat badan cukup atau melihat pipi anaknya sudah sedikit tembam, anak tersebut dianggap sudah sehat. 

Padahal, lanjutnya, tinggi badan adalah salah satu faktor penting, apakah nutrisi anak sudah baik atau belum. Dameria mengatakan, banyak yang tidak tahu, kalau anak pendek adalah tanda masalah gizi kronis pada pertumbuhan tubuh si kecil. 

Baca juga : Dubes AS Kenang Bu Ani Tidak Kenal Lelah Bela Rakyat

Dia juga mencontohkan, angka kejadian bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sebanyak 10,2 persen dan pencapaian ASI eksklusif 30,2 persen di Puskesmas Lima Puluhkota, Pekanbaru, Riau.

Berdasarkan survei tahun 2017 di daerah itu didapatkan dari 18 balita yang diukur, 13 orang di antaranya mengalami stunting. Hasil wawancara juga memperlihatkan, tiga balita di antaranya lahir dengan BBLR dan lima balita tidak diberikan ASI eksklusif. 

Terkait hal ini, staf dosen pasca sarjana STIK Sint Carolus, Jakarta, Ns Regina VT Novita mengatakan, balita dengan pemberian ASInon eksklusif memiliki risiko stunting lebih tinggi. Dibanding balita dengan pemberian ASI eksklusif. 

Baca juga : Kena Imbas Aksi 22 Mei, Sejumlah Rute Transjakarta Dialihkan

Pemberian ASI, ujarnya, memang mudah dikatakan daripada melakukan. Demi berhasilnya pemberian ASI eksklusif ini, lanjut Novita, perlu pendampingan tenaga kesehatan (nakes). Karena mereka ini menurutnya merupakan kunci, bila ibu mengalami permasalahan selama menyusui. 

Namun dia menyayangkan, karena masih sedikitnya nakes yang kompeten membantu ibu menyusui. Hal ini perlu dukungan dari Dinas kesehatan, RS pemerintah maupun swasta untuk kegiatan menyusui. Sehingga stunting dapat diturunkan. [JON]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.