Dark/Light Mode

Data HGU Sawit Dinyatakan Tertutup

Advokasi Korban Konflik Agraria Kok Dipersulit...

Sabtu, 11 Mei 2019 10:31 WIB
Ilustrasi. (Foto : Istimewa).
Ilustrasi. (Foto : Istimewa).

RM.id  Rakyat Merdeka - Kemenko Perekonomian mengecualikan informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit untuk dapat diakses publik. Padahal, data tersebut dibutuhkan masyarakat korban konflik agraria dan pendampingnya untuk mencari keadilan. Pemerintah beralasan, penutupan akses data HGU untuk melindungi kepentingan nasional dan mencegah penyalahgunaan.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kerap mengadvokasi masyarakat korban konflik agraria menyatakan, ketertutupan data HGU sawit bakal merugikan masyarakat yang sedang berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit.

Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Agung Ady Setyawan mengingatkan, berdasarkan Pasal 11 ayat 2 UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), data HGU merupakan informasi yang bersifat ‘wajib tersedia setiap saat’.

Baca juga : 2 Juta Diaspora Indonesia Mencari Caleg Berkualitas

Dengan demikian, surat arahan Menko Perekonomian yang mengecualikan data HGU sebagai informasi publik, dinilai bertentangan dengan UUKIP dan putusan Mahkamah Agung yang memutuskan data HGU kelapa sawit terbuka untuk publik.

“Ini bertentangan dengan instruksi Presiden Jokowi terkait percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan konflik agrarian. Antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan swasta,” kata Agung, di Jakarta.

Faktanya, sebagian besar konflik perkebunan disebabkan oleh HGU perusahaan sawit yang bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah garapan masyarakat, kampung dan desa. Sementara salah satu prasyarat menyelesaikan dan mengurai konflik agraria tersebut adalah, adanya keterbukaan data HGU dan penguasaan lahan. Pada 2018 saja, dari 144 konflik agraria perkebunan yang terjadi, 60 persennya terjadi di perkebunan sawit.

Baca juga : Duh..., ASN Terpidana Korupsi Belum Dipecat

Dia menekankan, jika selama ini perolehan HGU sesuai prosedur yang legal, tidak perlu timbul kekhawatiran atas penggunaan informasi HGU. “Masalahnya, perolehan izin-izin perkebunan (sawit) seringkali ‘tidak melalui prosedur legal’. Sehingga masih banyak perkebunan di kawasan hutan, berkonflik dengan masyarakat. Bahkan beroperasi tanpa izin yang jelas (tanpa HGU),” ungkap Agung.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nurhidayati mengatakan, salah satu akar masalah di konflik agraria adalah terkait tumpang tindih HGU perusahaan dan tanah warga. “HGU perusahaan berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik,” ujarnya.

Dia menyebutkan, KPK punya catatan terhadap sektor sawit yang diklaim sebagai sektor strat-egis nasional ini. Korporasi sawit punya catatan buruk terhadap kepatuhan pajak, bahkan pada 2014 saat ekspor meningkat, pajak sektor sawit justru menurun.

Baca juga : Pengamat: 4 Menteri Ini Layak Dipertahankan

“Klaim bahwa terkait dengan petani kecil mudah sekali dipatahkan. Mengingat komoditas ini sangat tergantung korporasi besar. Penentuan harga hingga sebagian besar proses produksi dan ekonomi bukan di tangan petani. Bahkan pengelolaan dana perkebunan sawit justru juga kembali pada korporasi,” jelasnya.

Salah satu dampak tidak dipatuhinya perintah Mahkamah Agung untuk membuka data HGU mengakibatkan konflik yang terjadi sejak 2008 antara warga Desa Sembuluh I, Kalimantan Tengah, dengan PT Selonok Ladang Mas tidak kunjung selesai. “Warga yang memperjuangkan tanah dan sumber kehidupannya di sekitar Danau Sembuluh, terus dipaksa menyerahkan tanahnya kepada perusahaan,” ungkap Nurhidayati. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.