Dark/Light Mode

Kenaikan Cukai Dan Harga Rokok Terlalu Tinggi, Industri Bisa Mati

Selasa, 24 September 2019 09:03 WIB
Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (LPSDM YMIK) menggelar diskusi, Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) Pasca Kenaikan Cukai. Di gelar di Jakarta, Senin (23/9).
Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (LPSDM YMIK) menggelar diskusi, Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) Pasca Kenaikan Cukai. Di gelar di Jakarta, Senin (23/9).

RM.id  Rakyat Merdeka - Keputusan pemerintah untuk menaikan tarif cukai rokok yang tinggi dinilai bakal merusak industri rokok dan mencekik petani tembakau.

Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (LPSDM YMIK), menyarankan pemerintah untuk mengkaji dampak dari kenaikkan cukai rokok. Kenaikan bisa menimbulkan banyak masalah baru.

Direktur LPSDM YMIK, Hilman menyebut kenaikkan cukai rokok hingga 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen bakal mengacaukan industri.

"Masa depan industri hasil tembakau (IHT) pasca diumumkannya kenaikan tarif cukai rokok hingga 23 persen dan HJE sebesar 35 persen membuat industri seperti berada di persimpangan jalan," tutur Evert diskusi media bertajuk "Masa Depan IHT Pasca Kenaikan Cukai", di Jakarta, Selasa (23/9).

Hadir dalam diskusi media tersebut adalah Willem Petrus Riwu (Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok, GAPPRI), Dita Indah Sari (Ketua DPP PKB Bidang Ketenagakerjaan dan Migran), Enny Sri Hartati (Indef), dan Mohamad Sobari (budayawan).

Evert Haryanto menegaskan, keputusan pemerintah yang mulai berlaku 1 Januari 2020 tersebut selain berpotensi merusak industri rokok dan serapan hasil petani tembakau, kebijakan ini akan meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Baca juga : Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bisa Kurangi Defisit APBN

Tokoh budayawan Mohamad Sobari melihat tembakau sebagai bagian dari budaya Indonesia dan berkontribusi dalam menopang ekonomi masyarakat. Oleh karena itu kata dia, pemerintah perlu untuk melindungi industri tembakau dengan regulasi yang tepat.

“Kalau hanya sekedar menambah penerimaan negara, industri yang sudah memberikan kontribusi nyata jangan dipersulit,” ujarnya.

Sobari menambahkan, persoalan petani terancam, ini sudah lama. Dia bilang sejak 10 tahun lalu, kondisi petani cemas dan khawatir. Tembakau sebagai salah satu sumber ekonomi akan dimusnahkan atau dipunahkan.

“Kebijakan sampai saat ini saya belum dengar kebijakan yang jelas menyebut perlindungan kepada petani,” ujarnya. Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) Willem Petrus Riwu mengatakan, isu kesehatan selalu dihadapkan dengan industri tembakau.

Menurutnya, isu kesehatan memang penting namun jangan dengan isu itu mematikan usaha industri tembakau. “Saya pikir ini persaingan bisnis. Isu-isu mengenai kesehatan yang dibonceng kepentingan bisnis, ini yang mengkhawatirkan kita,” ujarnya.

Dia menambahkan, cukai naik boleh. Tapi jangan terlalu tinggi yang dikhawatirkan industri kecil bisa rugi. “Apa betul harus naik 23 persen. Harga jual naik 35 persen.Kami pada dasarnya mendukung, hanya memberi warning, ini sudah banyak yang teriak,” katanya.

Baca juga : Petani Minta Kenaikan Cukai Rokok Ditunda

Lebih lanjut Willem mengatakan, IHT merupakan industri yang strategis. Memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan Negara sebesar 10 persen dari APBN. Atau sebesar Rp 200 triliun (cukai, Pajak Rokok daerah, dan PPN). IHT juga menyerap 7,1 juta jiwa yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait.

“Pertanyaannya, kalau mau mematikan industri ini apakah sudah ada penggantinya? Apakah benar jika pabrikan rokok dalam negeri tidak beroperasi maka kesehatan masyarakat dan polusi udara lebih baik secara signifikan,” cetusnya.

Selama ini kata Willem, pemerintah menaikkan cukai rata-ratanya sekitar 10 persen. Kecuali Tahun 2020. Dengan adanya keputusan pemerintah yang menaikkan rata-rata cukai 23 persen dan HJE 35 persen yang sangat eksesif, tentu akan menyebabkan dampak negatif untuk industri.

“Saat ini, kondisi usaha IHT masih mengalami tren negatif (turun 1 persen sampai 3 persen dalam tiga tahun terakhir. Produksi semester I tahun 2019 turun 8,6 persen,” jelasnya.

Dengan naiknya cukai 23 persen dan HJE 35 persen diperkirakan akan terjadi penurunan volume produksi sebesar 15 persen di tahun 2020. “Akibatnya adalah terganggunya ekosistem pasar rokok. Penyerapan tembakau dan cengkeh akan menurun sampai 30 persen. Kemudian Rasionalisasi karyawan di pabrik. Maraknya rokok illegal yang dalam dua tahun ini sudah menurun,” jelas Willem.

Menurut dia, rokok illegal menurun selain karena gencarnya penindakan juga dikarenakan kebijakan cukai dan HJE yang moderat beberapa tahun terakhir.

Baca juga : Cukai Rokok Tinggi Jadi Kebijakan Jitu Kurangi Perokok

GAPPRI kecewa karena rencana kenaikan besaran cukai dan HJE yang sangat tinggi tersebut tidak pernah dikomunikasikan dengan pabrikan.

Sedangkan amanat UU Nomor 39/2007 tentang Cukai, Pasal 5 ayat 4 yang berbunyi “Penentuan besaran target penerimaan Negara dari cukai pada rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan”.

Padahal target penerimaan cukai dalam RAPBN 2020, naik sebesar 9,5 persen (Rp 173 triliun). Sedangkan usulan GAPPRI maksimal sebesar angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. [JAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.