Dark/Light Mode

Marak Perkara Pailit Di Masa Pandemi, PKPU Jadi Tren Pengambil Alihan Aset

Senin, 25 September 2023 17:35 WIB
Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies ILDES di Jakarta Senin (24/9/2023).
Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies ILDES di Jakarta Senin (24/9/2023).

RM.id  Rakyat Merdeka - Banyak perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dijadikan upaya untuk penyelesaian kewajiban debitur kepada kreditur. Hal ini karena perusahaan-perusahaan masih terbebani utang buntut dari pandemi.

Namun demikian, PKPU dan Kepailitan kini juga dijadikan upaya untuk mengambil alih aset debitur secara ilegal.

“PKPU dan kepalilitan bukan hal baru. Namun sekarang bisa mengarah ke moral hazard, misalnya tidak suka dengan pesaing, orang dengan mudah mendapatkan aset dari pesaingnya dengan harga yang murah,”ujar Pakar Hukum PKPU dan Kepailitan Teddy Anggoro dalam Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) di Jakarta Senin (24/9/2023).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, maraknya PKPU dan Kepailitan karena syarat pengajuannya sudah berubah.

Hal itu terjadi pasca krisis 1998 dimana syarat PKPU dan Kepailitan sebelumnya adalah ketidakmampuan membayar berubah menjadi jumlah debitor yang memiliki tagihan.

“Kepailitan dan PKPU selalu meningkat setiap tahun. Dengan berubahnya syarat kepailitan maka menjadi booming. Masalah Kepailitan bisa membuat orang jadi kaya raya,” paparnya.

Baca juga : Periksa Imin, KPK Sibuk Kasih Pengertian

Biaya kepailitan pun mencapai 22 persen sehingga berpotensi disalahgunakan.

Dia mengatakan, tak hanya di Indonesia, di dunia pun terjadi hal yang sama. Dengan beberapa kali kejatuhan perekonomian dunia, International Mentary Fund (IMF) menyarankan salah satu cara menagih utang-utang yang tak dapat ditagih maka syaratnya harus diubah menjadi menggunakan syarat minimum kreditur.

Hal itu terbukti efektif karena debitur harus menyampaikan proposal perdamaian.

“Tetapi dalam praktiknya banyak Moral Hazard dengan memanfaatkan PKPU ini,”tegasnya.

Masalah moral hazard itu lanjut dia, harus mendapatkan perhatian. Sebab, dengan maraknya pengajuan PKPU dan Kepailitan, banyak juga penerapan hukum yang tidak tepat.

“Bukan karena undang-undangnya nya tapi karena oknum-oknumnya,”paparnya.

Baca juga : Menang Sengketa Tanah di Bandung, PT KAI Ajukan Pembatalan Sita

Dia memberikan contoh, debitur pailit baik perorangan maupun berbadan hukum (perusahaan) tidak bisa diajukan PKPU kepada ahli warisnya.

“Itu tidak ada jalur hukumnya. PKPU tidak diturunkan,” tegasnya.

Sementara Praktisi Hukum Damianus Renjaan mengatakan, banyak terjadi kejanggalan proses dalam PKPU.

Dia memberikan contoh, saat ini sedang menangani permohonan PKPU dengan Termohon yakni Ery Said, putra tunggal mendiang Eka Rasja Putra Said yang wafat pada 16 September 2022.

Almarhum Eka yang semasa hidupnya menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Krama Yudha, merupakan putra pendiri PT Krama Yudha H. Sjarnoebi Said.

Perkara PKPU tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 7 September 2023 yang diketuai oleh Dewa Ketut Kartana.

Baca juga : Anak Usaha Telkom Jalin Kerja Sama Dengan NetlX

“Putusan tersebut menurut kami keliru karena para Termohon PKPU belum memperoleh ahli penetapan sebagai ahli waris namun seolah dipaksa untuk bertanggung jawab melakukan pembayaran bonus berdasarkan akta 78 yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh para Termohon PKPU sebagai ahli waris,” tegas Damianus yang juga Kuasa Hukum Ery Said.

Namun demikian, Damianus mengaku, para termohon akan mengikuti proses hukum yang berlangsung.

“Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan, namun pengadilan niaga seharusnya tidak gegabah menjatukan putusan PKPU terhadap klien kami” tegasnya.

Damianus menambahkan, ahli waris tidak dapat di PKPU karena tidak ada dasar hukumnya di undang-undang kepailitan.

Jika dipaksakan, hal itu berpotensi menjadi dasar yang bisa digunakan oleh siapapun untuk merugikan masyarakat.

“Bagaimana perlindungan hukum bagi ahli waris yang tidak mengetahui perjanjian yang dibuat pewaris,” tegasnya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.