Dark/Light Mode

Pemerintah Diminta Benahi Tata Niaga Daging Sapi

Sabtu, 23 Januari 2021 08:10 WIB
Pedagang daging sapi. (Foto: ist)
Pedagang daging sapi. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, Pemerintah perlu membenahi tata niaga daging sapi nasional.

Tingginya harga daging sapi baru-baru ini menyebabkan pedagang daging sapi melakukan demonstrasi dan menolak berjualan. Hal ini disebabkan oleh harga daging sapi yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 120.000 per kilogram. 

Tingginya harga daging sapi perlu diatasi dengan melihat ke persoalan di hulu, salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang. Panjangnya rantai distribusi menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya berpengaruh kepada harga jual.

Selain itu, pemerintah memilih mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia. Setelah itu, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.

Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit.   

Baca juga : KPPU Investigasi Kenaikan Harga Daging Sapi Di Pasar

“Fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan. Konsumsi daging sapi secara umum rendah sekali, hanya sekitar 2 kg per kapita per tahun di Indonesia,” terang Felippa.

Ketika harga daging sapi naik, konsumen akan cenderung membeli komoditas lain sebagai substitusi, misalnya memilih makan ayam atau lauk lainnya. Hal ini akan merugikan para pedagang dan dapat dipahami kenapa mereka enggan menjual daging sapi dengan harga kelewat tinggi. 

Selain itu, yang paling terdampak akibat kenaikan ini juga para pengusaha yang menjual makanan berbahan daging sapi. Mereka dihadapkan pada pilihan, misalnya menghilangkan menu daging sapi, mengurangi porsi atau bahkan menambah harga jual. Di sinilah seharusnya pemerintah bisa menilai efektivitas kebijakan yang sudah diterapkan pada daging sapi.

Di sisi lain, pandemi Covid-19 memang menimbulkan disrupsi pada sektor pertanian di seluruh dunia. Implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial memengaruhi kinerja sektor pertanian di hampir semua negara.

Penurunan kapasitas produksi dan pengolahan menyebabkan suplai berkurang. Kali ini, kenaikan harga daging sapi terjadi karena harga sapi dari Australia juga sudah menanjak sejak akhir 2020 ditambah dengan tingginya biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik selama pandemi Covid-19.

Baca juga : Pemerintah Diminta Lebih Gesit dan Sigap Pulihkan Ekonomi Di Tengah Pandemi

Menanggapi wacana impor daging sapi, Felippa berpendapat kalau langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk dilakukan, mempertimbangkan adanya siklus tahunan kenaikan permintaan jelang Ramadan dan juga Hari Raya Idul Fitri. Produksi daging sapi domestik hanya dapat memenuhi sekitar 70 persen dari permintaan. 

Industri daging domestik masih belum mampu bersaing dengan industri daging luar negeri. Kita sudah melihat bahwa harga tinggi merugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pedagang.

Menurut dia, impor sebagai langkah yang tepat untuk mengatasi kesenjangan. Namun perlu dicatat, impor juga merupakan kebijakan yang akan efektif kalau diikuti adanya data yang akurat dan perkiraan waktu yang tepat dalam eksekusinya.

“Kami juga mendukung impor yang dilakukan secara transparan. Sistem kuota sudah terbukti rawan pelanggaran dan hal ini perlu dievaluasi oleh pemerintah,” tegasnya.

Ia melanjutkan, ketahanan pangan dapat tercapai jika makanan bukan hanya tersedia, namun juga terjangkau, melalui produksi domestik maupun impor. Produksi domestik dan impor dapat dilihat sebagai komplementer.

Baca juga : CIPS Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Harga Pangan

Pemerintah tentu perlu melihat pada permasalahan utama di masing-masing komoditas dan melakukan perbaikan, baik itu di sisi hulu, hilir maupun di tata niaganya. Sebagaimana yang tercantum di dalam UU Cipta Kerja, pemerintah memprioritaskan dan meningkatkan produksi dalam negeri dan petani sebagai sumber pemenuhan pangan.

Hal itu perlu ditunjukkan dengan keseriusan untuk membenahi produktivitas pangan kita, memodernisasi pertanian, memberikan peningkatan kapasitas kepada para pekerja di sektor pertanian dan membuka diri untuk investasi. Selain itu, sistem impor juga perlu dibenahi. 

Selama ini implementasi langkah-langkah proteksionis seperti menerapkan berbagai hambatan untuk impor terbukti tidak efektif juga mengangkat produksi dalam negeri dan malah menambah biaya ke impor yang diteruskan ke konsumen. Sistem impor perlu menjadi lebih transparan dan sederhana. [DIT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.