Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
RM.id Rakyat Merdeka - Isu utang pemerintah terus bergulir seperti bola panas. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku belum optimal memberikan pemahaman soal utang ke publik. Rakyat masih marah kalau bicara soal utang, sebut menteri yang akrab disapa Ani.
Sepanjang tahun ini, isu utang pemerintah selalu jadi sorotan. Kadang naik, kadang turun. Presiden Jokowi dan Ani terus disudutkan karena dianggap tak kredibel mengelola anggaran, yang berimbas pada menggunungnya utang. Berkali-kali, Ani memberikan penjelasan dan klarifikasi. Baik secara langsung, atau lewat media sosial. Namun, isu ini tak pernah benar-benar hilang. Selalu saja muncul di tikungan.
Untuk diketahui, total utang pemerintah per September 2018 mencapai Rp 4.416,37 triliun, atau naik Rp 53,18 triliun dari bulan sebelumnya. Rinciannya: pinjaman Rp 823,11 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp 3.593,26 triliun.
Ani memahami betul dampak negatif isu utang yang makin hari makin liar. Karena itu, di dua tempat berbeda kemarin, Ani menjelaskan persoalan ini. Pertama, Ani menginstruksikan jajarannya agar memberikan penjelasan soal utang kepada masyarakat. Kedua, ia menegaskan utang pemerintah masih dalam batas aman. Acara pertama yang dihadiri Ani adalah pembukaan Simposium Nasional Keuangan Negara di Pusdiklat Pajak, di Jakarta. Di sini, Ani menginstruksikan bawahannya untuk memberikan pemahaman soal utang kepada masyarakat.
Baca juga : Pesan Fakhri: Bima Jangan Dibayangi Milla
Kenapa harus disampaikan? Karena dari isu yang beredar di media sosial, masih banyak warga yang tidak mengetahui kenapa sebuah negara harus berutang. Apalagi, Ani bercerita, masyarakat saat ini cenderung marah bila mendengar isu soal utang. Pasalnya, pengkritik terhadap utang kerap mengkaitkan dengan sumber daya alam yang melimpah. Kalau sumber daya alam melimpah kenapa mesti utang. “Itu (sebenarnya) bisa dianggap curhat yang emosional,” kata Ani.
Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, masyarakat perlu diberikan penjelasan utuh mengenai pengelolaan keuangan negara. Karena, hal itu tak hanya menyangkut soal utang saja, tetapi juga penerimaan, belanja, jumlah defisit, dan lain-lain. Masyarakat perlu diberikan informasi bagaimana pengumpulan pajak dari sektor ke sektor. Dia menuturkan, pihaknya akan berusaha memperbaiki pesan yang akan disampaikan, agar mudah dipahami masyarakat.
“Hadapi dan jelaskan. Wajah Kementerian Keuangan bukan hanya Menteri Keuangan, tapi Anda semua. Sehingga publik bisa memahami dan membaca. Jadi, mengelola keuangan negara bukan hanya dikelola, bikin laporan WTP, aman. Itu hanya sebagian kecil dari tugas kita,” tutur Ani.
Di kampus UI Depok, Jawa Barat, Ani meyakinkan kepada hadirin bahwa rasio utang pemerintah saat ini masih dalam batas aman. Sehingga, tak perlu khawatir berlebihan. Dia menjelaskan, berdasarkan undang-undang, rasio utang dibatasi maksimal 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). “Sekarang baru mendekati 30 persen, melanggar undang-undang nggak?,” kata Ani kepada mahasiswa di Auditorium FEB UI, Depok.
Baca juga : Prabowo Banyak Bicara, Banyak Ruginya
Ia kemudian membandingkan dengan rasio utang negara lain. Kata dia, utang Indonesia masih lebih baik dari Filipina, yang rasio utangnya saat ini mencapai 33 persen. Jauh lebih baik dari Argentina, yang mencapai 52 persen, Brasil tembus 72 persen. Sedangkan Jepang, rasio utangnya mencapai 250 persen. Ani mengungkapkan, pemerintah terus berupaya mengelola keuangan dengan baik. Antara lain, berupaya menarik utang dari dalam negeri. Yakni menawarkan surat berharga negara (SBN) ritel dan sukuk ritel. Namun sayang, peminatnya tidak terlalu banyak.
“Berapa jumlah investor yang beli SBN ritel di Indonesia? Jumlahnya tidak lebih dari satu juta orang. Ya itu-itu saja. Mereka yang bayar pajak, mereka yang utangi negara mereka. Saya harap, kalian sebagai generasi muda bisa menjadi investor sekaligus pembayar pajak,” harapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengkritk penjelasan utang pemerintah yang hanya fokus ke rasio terhadap PDB. Kata dia, tak tepat membandingkan rasio utang terhadap PDB. Yang harus dilihat adalah bagaimana kemampuan pemerintah untuk membayar utang. “Karena rasio utang belum tentu mengindikasikan peningkatan kemampuan pembayaran utang. Kalau mau jujur dan jitu, untuk mengukur kemampuan bayar utang pemerintah adalah dengan membandingkan penerimaan pajak, bukan PDB,” kata Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, dalam menarik utang juga perlu diperhatikan kondisi ekonomi global. Karena, saat ini beban utang jatuh tempo yang dihadapi pihak swasta berpotensi menjadi lebih besar lantaran adanya selisih kurs. Senada disampaikan Ekonom Indef lainnya, Acmad Heri Firdaus. Ia mengatakan, pemerintah memang harus mengerem laju utang. Pasalnya, alokasi penggunaan utang tersebut banyak digunakan untuk kegiatan tidak produktif, sehingga tidak menghasilkan pendapatan yang bisa digunakan untuk membayar kembali pinjaman itu.
Baca juga : Sandi: Yang Penting Rakyat Bersama Kita
Indef mencatat, penggunaan utang tidak sepenuhnya untuk beragam kegiatan yang sifatnya membangun, misalnya saja infrastruktur. Hal itu bisa dilihat dari anggaran infrastruktur yang naik Rp 400 triliun. Namun, kenaikan utangnya lebih dari jumlah itu. “Artinya, utang digunakan untuk belanja-belanja lain. Belanja barang, belanja pegawai, dan belanja birokrasi,” kata Achmad. Menurut dia, berutang sebenarnya sah-sah saja, asalkan digunakan untuk kegiatan produktif. “Sehingga, nanti ada hasilnya. Hasilnya, untuk bayar utang lagi. Kalau utang untuk bayar birokrasi, nanti bayar utangnya gimana?” ungkapnya. [BCG]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya