Dark/Light Mode

Anggarannya Harus Memadai

Perpustakaan Tidak Boleh Dianaktirikan

Senin, 15 November 2021 13:10 WIB
Kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), di Kabupaten Bantul, DIY, Senin (15/11). (Foto: Dok. Perpusnas)
Kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), di Kabupaten Bantul, DIY, Senin (15/11). (Foto: Dok. Perpusnas)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perpustakaan tidak boleh dianaktirikan. Jangan pula setengah hati dikelola. Perpustakaan harus mendapat anggaran yang memadai. Sebab, perpustakaan merupakan wajah dunia pendidikan.

Demikian disampaikan anggota Komisi X DPR My Esti Wijayati, saat menjadi narasumber pada kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), di Kabupaten Bantul, Senin (15/11). Soal anggaran, dia mengaku Komisi X DPR sudah lama mengajukan peningkatan. Namun, pandemi Covid-19 menjadi kendala.

Untuk Tahun Anggaran 2022, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) “diberi jatah” oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp 600 miliar saja. "(Padahal) setidaknya perlu anggaran minimal Rp 2 triliun untuk mengejar indeks literasi. Ini yang terus kami dorong," ujar Esti.

Baca juga : Pembangunan Infrastruktur Harus Diawasi Secara Ketat Agar Tidak Bocor

Namun, jika upaya tersebut belum berhasil, Esti mengharapkan Pemerintah Daerah bisa membantu Perpusnas dengan dukungan dan kebijakan anggaran yang memihak literasi, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cara lain yang bisa dilakukan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni dengan melakukan pemerataan perpustakaan dan penguatan koleksi tepat sasaran seperti di titik-titik Posyandu. Layanan perpustakaan bisa ditempatkan di situ agar Posyandu tidak sekadar menjadi tempat timbang bayi dan ukur badan.

Bupati Bantul Abdul Halim Muslih mengatakan, literasi bukan perkara sepele. Sebab, akibat literasi yang rendah, masyarakat gampang tersulut emosi, termakan hoaks. Oleh karena itu, literasi harus jadi gerakan nasional.

Baca juga : Membaca Harus Jadi Budaya Kolektif Bangsa

Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menegaskan, persoalan literasi sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional terbaru. Di situ disebutkan bahwa salah satu cara meningkatkan sumber daya manusia adalah dengan literasi. "Ini sudah tertulis dalam UUD 1945 bahwa secara tersirat aspek literasi menjadi kewajiban bersama pemerintah pusat dan daerah sebagai upaya untuk mencerdaskan anak bangsa," ujarnya.

Sayangnya, saat ini rasio buku dengan penduduk di Indonesia masih rendah, yakni 1:90. Satu buku ditungguin 90 orang. Oleh karena itu, Perpusnas mengharapkan keberpihakan kebijakan dan anggaran dari sisi hulu, seperti eksekutif, legislatif, TNI/Polri, penulis, akademisi, budayawan, sehingga tercipta pemerataan bahan bacaan dan tepat sasaran kebutuhan masyarakat.

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu provinsi yang tinggi rasio buku dengan penduduknya, yakni tinggi, 1:6. Identitas Yogyakarta sebagai kota pendidikan menjadi perhatian gubernur, bupati, dan wali kota kotanya. Meski demikian, masih ada pekerjaan rumah lain yang masih perlu disentuh untuk pemerataan bahan bacaan.

Baca juga : Luhut: Jangan Ada Pikiran Pemerintah Tidak Konsisten

Pada kesempatan yang sama, juga dilakukan pengukuhan Emi Masruroh sebagai Bunda Literasi Kabupaten Bantul periode 2021-2026, penandatanganan nota kesepakatan Perpusnas dengan Pemkab Bantul, bantuan 5.000 buku bagi perpustakaan komunitas, serta penyerahan Pojok Baca Digital (Pocadi) kepada Desa Selurejo. Pocadi adalah replika perpustakaan dan bersifat digital. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.