Dark/Light Mode

Sumbangsih Tionghoa Nusantara: Catatan dari Koleksi Museum Pustaka

Rabu, 24 Agustus 2022 10:45 WIB
Foto ilustrasi: pinterest @IndiesGallery, Indiesgallery.com
Foto ilustrasi: pinterest @IndiesGallery, Indiesgallery.com

[Anisa Jayanti: Mahasiswi S2 Pengkajian Islam, Konsentrasi Ilmu Hubungan Internasional, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta]

Pada Minggu 14 Agustus 2022, pukul 15.30 WIB, Kayfa.id bersama Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta mengadakan webinar bertema “Sumbangsih Tionghoa Nusantara: Catatan dari Koleksi Museum Pustaka”. Menarik sekali jika kita mengulik, apa alasan webinar ini diadakan. Bukankah pembahasan tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia ini sangat sensitif? 

Sejarawan dan Muassis Kafya.id, Ayang Utriza Yakin, Ph.D menjelaskan, webinar ini digelar, tak lain di antaranya karena masih adanya sentimen SARA yang begitu tendensius di Indonesia. Untuk itu, dia bermaksud membendung politik identitas yang akan terjadi saat-saat pemilihan umum presiden Indonesia diadakan. Apalagi, pada 2024 mendatang memang tahun pilpres. 

Sebagai pengantar webinar, Gus Ayang --demikian dia biasa disapa-- mengingatkan, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sampai Pilpres 2019 masyarakat Indonesia dihadap-hadapkan pada persoalan yang membuat kehidupan sehari-hari tak nyaman. Biangnya, kampanya hitam berbalut agama. 

Lalu, apa kontribusi konkrit etnis Tionghoa di Nusantara? Juga sebagai pengantar webinar, dosen di Fakultas Teologi, Universitas KU Leuven, Belgia ini menjelaskan kontribusi orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah merealisasikan koneksi perdagangan dari Nusantara hingga ke Asia Tenggara. Ini akan terjawab jika kita coba hubungkan adanya istilah “Silk Road” dan “Spice Road” atau “Jalur Sutera” dan “Jalur Rempah” Nusantara dalam konteks geopolitik. 

Etnis Tionghoa di Nusantara sendiri, papar alumni Universitas Sorbonne, Paris dan École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) Prancis ini, memiliki peran penting dalam aktivitas perniagaan dan pelayaran nusantara dalam dunia Internasional kuno. Perdagangan etnis Tionghoa yang tumbuh pesat di Surabaya pada abad 19, interaksi masyarakat Tionghoa dan Bumi Putera Surabaya pada saat itu begitu intens, sehingga tak heran ada pasar-pasar kecil di pinggiran kota dengan nama Pasar Pabean atau Chinese Market, Pasar Ampel atau pasar Timur Tengah (India Market), pasar Blauran. Ada yang profesinya sebagai pedagang kelontongan, grosir, legal dan perantara pedagang kecil atau besar, dan pedagang keliling. 

Di zaman Hindia Belanda kontribusi orang-orang Tionghoa dalam roda perekonomian Nusantara juga ada yang membuka bank, misalnya dengan Tiong Hwa Bank, Bhe Biauw Tjwan Bank dan Oei Tiong Ham Bank. Dari sinilah setidaknya kita bisa melihat kontribusi konkrit orang-orang Tionghoa jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, misalnya di zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Tepatnya di zaman Sriwijaya dan Majapahit kuno. 

Baca juga : Sahroni: Perpres Penghapusan Kekerasan Anak Bukti Kesigapan Pemerintah

Pada abad ke-7, di zaman kerajaan Sriwijaya ternyata ada interaksi dengan kerajaan Tionghoa yang bernama Kerajaan San Fo Tsi, Chen La, dan Shepo. Di abad ke-16, orang-orang Tionghoa banyak menetap di Jawa, tepatnya daerah Tuban, Surabaya, Gresik dan Lasem.

Lalu kini di abad ke-20, para imigran Tionghoa sudah menempati strata sosial yang tidak hanya di kalangan kelas menengah dan atas namun juga ke berbagai lapisan masyarakat seperti pedagang kecil, buruh, dan kuli pasar.

Mata pencaharian orang-orang Tionghoa pun bermacam-macam sejak zaman kerajaan Hindu Budha hingga kini, baik di bidang industri manufaktur, pengrajin, bertani, atau sebagai padagang keliling dan kelontong. 

Pada dasarnya, masih menurut Ayang --yang menyelesaikan S-1-nya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, baik masyarakat Arab, Melayu, Tionghoa dan India, jauh sebelum Belanda datang, sudah berinteraksi dengan masyarakat Nusantara, sehingga peran etnis Tionghoa pun tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebab percampuran itu telah ada hingga membentuk tatanan sosial masyarakat Indonesia yang beragama, dari segi agama Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan Konghucu, akulturasi budaya, dan menopang perekonomian Indonesia. 

Lalu, apa arti penting Nusantara memiliki arti penting pula bagi Tiongkok dan etnis Tionghoa? Arti penting Nusantara adalah daratan dan lautannya. Kawasan subur dan strategis, baik jalur sutera dan jalur rempah nusantara dalam sistem perdagangan internasional kuno pun telah menjadi titik temu (intersection) Kerajaan Tiongkok dengan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan Matraman, dan Singosari, hingga saling terhubung (interconnected). Maka tentu, ada jejak-jejak sejarah Tionghoa yang tertinggal hingga saat ini, baik itu dari segi budaya, kuliner, dan agama, semua disebabkan interaksi sosial yang sangat lekat di zaman nusantara kuno tadi.

Sementara Azmi Abubakar, sebagai narasumber pada webinar kali ini juga memberi gambaran konstruksi sosial masyarakat Tionghoa, khususnya muslim Tionghoa di Nusantara. Dia adalah pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong Tangerang Banten. Bagaimana konstruksi masyarakat Tionghoa dalam pranata sosial?

Baca juga : Jelang 2024, Persis Ingatkan Pemerintah Atasi Polarisasi Masyarakat

Pertama, Azmi menjelaskan kontribusi muslim Tionghoa di Indonesia dari berbagai daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, Bukititinggi, dan Jawa. Proses akulturasi dan asimilasi terjadi, sehingga secara budaya, Indonesia juga tidak bisa lepas dari muslim Tionghoa. Azmi menceritakan tentang kuliner akulturasi Mie Aceh. Tak kalah unik, terangnya, makanan khas Mie Aceh yang terkenal lezat dan populer ini ternyata kondimennya terdiri dari bahan Mie Hokkian atau Mie Lidi yang merupakan khas orang Tionghoa. 

Bukan hanya itu, filantropi Tionghoa yakni Tjong A Fie yang dikenal dengan kedermawanannya walau non muslim ini juga ikut membangun masjid di daerah Sumatera Utara seperti Masjid Raya Medan dan  Masjid Lama Gang Bengkok, Medan. Bahkan Azmi menuturkan, bahwa di Bukuttinggi ada Syaikh Djamil Djambek, seorang ulama besar dari Minang yang turut membangun masjid atas bantuan Tjong A Fie, pada hakikatnya juga kontribusi muslim Tionghoa di Nusantara yang harus digali. 

Lalu, mengapa Azmi membangun sebuah Museum Pranaka Tionghoa? Penerima anugerah marga Lim Se Ming dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia ini mengaku mendidirkannya atas dasar kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan negara yang beragam etnis, ras, kelompok, dan suku maka Bhineka Tunggal Ika, sehingga harus direfleksikan dengan realisasi konkrit. 

Dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, dia berharap, masyarakat Indonesia bisa lebih dekat dengan orang-orang Tionghoa dan tak salah kaprah memandang mereka sebagai warga negara Indonesia. Maka, selayaknya tidak mendapat perlakuan diskriminatif akibat meruncingnya politik identitas. Itu yang menurutnya dibutuhkan sekarang. Dimana kemanan manusia (human security) harus menjadi concern bagi manusia modern abad 21. 

Kemudian, apakah masih relevan adanya sebutan “Cina”? Diksi yang digunakan juga harus tepat, dari sekadar memanggil “Hai Cina”, “Orang Cina”, “Cukong”, dan sebagainya. Menurut Azmi, alangkah eloknya menyebut mereka dengan “etnis Tionghoa”, “muslim Tionghoa”, atau “orang-orang Tionghoa”, sebab ini merupakan panggilan non rasis. Sementara dalam konteks negara, bisa kita ganti dengan sebutan Tiongkok. Bukan “China”. 

Himbauan ini sebenarnya telah ada sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa Tionghoa merupakan panggilan yang tidak diskriminatif. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014, dalam hal ini Presiden SBY mengganti istilah "China" dengan "Tionghoa". Ini penting untuk merekatkan sendi-sendi bangsa yang beragam. 

Baca juga : Sagunesia, Terobosan Baru Kementan Solusi Hadapi Krisis Pangan

Selanjutnya, apa dampak diksriminasi terhadap orang-orang Tionhoa di Indonesia di era kontemporer?  Di era kontemporer, pertumbuhan ekonomi negara Tiongkok menjadi rival sengit bagi Amerika Serikat. Kendati demikian, haluan bebas aktif politik luar negeri Indonesia, membuat hubungan antara Tiongkok dan Indonesia tetap harmonis di tengah sengketa “Laut China Selatan”. 

Bagi Azmi, ini bukan polemik ketika pemerintah Indonesia mampu memelihara hubungan bilateral “One Belt Road Initiative” dan masyarakat Tionghoa secara baik. Sebab Indonesia juga memiliki hubungan diplomatik perekonomian dalam bidang energi, teknologi digital, dan proyek-proyek smart city lainnya. 

Tionghoa adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang sepatutnya di segala kondisi tidak mendapat perlakuan diskriminatif. Percampuran mereka di Indonesia juga telah mewarnai perniagaan, sejarah, budaya, dan peranakan di Indonesia. Konstruksi sosial akan etnis Tionghoa dan negara Tiongkok di Nusantara, harus direkonstruksi kembali, mengingat pemahaman Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Diplomatik harus tetap terjaga secara harmonis di nusantara. (*)



Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.