Dark/Light Mode

Catatan Putra Adhiguna, Pakar Transisi Energi Independen

Membumikan Transisi Energi

Selasa, 12 Desember 2023 21:04 WIB
Perhelatan COP28 membahas berbagai penanganan krisis iklim beserta transisi energi hijau, di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November sampai 12 Desember 2023. (Foto Thomas Mukoya/Reuters)
Perhelatan COP28 membahas berbagai penanganan krisis iklim beserta transisi energi hijau, di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November sampai 12 Desember 2023. (Foto Thomas Mukoya/Reuters)

RM.id  Rakyat Merdeka - SEBUAH perhelatan yang dikenal sebagai Conference of the Parties (COP) rutin membahas berbagai penanganan krisis iklim beserta transisi energi hijau. Tahun ini Uni Emirat Arab menjadi tuan rumahnya dan gaung transisi energi bergulir makin kencang. Krisis iklim yang disebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca semakin menjadi perhatian, terlebih bagi generasi muda yang akan mengemban imbasnya dengan kenaikan suhu bumi. Namun, pembahasan transisi energi kerap dianggap sebagai perbincangan elite yang sarat dengan kepentingan asing, apalagi bila mengingat faktor historis bahwa polusi dunia banyak disebabkan negara maju.

Dalam tulisan singkat ini saya ingin mengajak pembaca untuk melihat secara pragmatis alasan dan tantangan ke depan dalam
menapaki transisi energi hijau di Indonesia, utamanya pada sektor ketenagalistrikan. Mari kita kesampingkan sejenak berbagai faktor eksternal dan membumikan perbincangan ini dalam perspektif kepentingan Indonesia.

Energi pengganti yang tak kunjung tiba

Pertama, pertumbuhan batubara di sektor ketenagalistrikan Indonesia sudah hampir usai namun penggantinya belumlah
tiba. Karena besarnya dampak iklim dari penggunaan batubara, lebih dari 200 lembaga keuangan besar telah melangkah mundur dari pendanaan sektor terkait batubara. Sejalan dengan itu, komitmen Pemerintah Indonesia turut memastikan bahwa pembangunan PLTU baru dalam jaringan PLN sudah akan berakhir.

Ke depannya, permintaan listrik masyarakat akan terus meningkat dan saat ini Indonesia masih bisa sedikit leluasa dengan kelebihan kapasitas PLTU yang jamak diberitakan. Tetapi kelapangan tersebut cepat atau lambat akan berakhir, sementara pembangunan pembangkit energi hijau yang dinanti masih belum tampak.

Hari ini, energi bersih baru menyediakan sekitar 13% dari pasokan listrik Indonesia. Dan meski berbagai acara dan pem-
beritaan bertajuk transisi energi seolah terus bergema, tahun ini investasi energi bersih Indonesia berpotensi mencapai titik terendah semenjak 2017.

Baca juga : Di COP28 Dubai, Duta Muda PBB Gugun Gumilar Bicara Transisi Energi Terbarukan

Peresmian proyek besar seperti PLTS terapung Cirata baru-baru ini sangat perlu diapresiasi, tapi jangan lupa kita catat bahwa India membangun kapasitas pembangkit yang sama setiap empat hari. Tahun lalu, India menambah kapasitas PLTS
mereka sebesar 13.900 MW, sekitar tujuh puluh kali lipat kapasitas PLTS Cirata.

Konteks Indonesia tentunya tidak persis sama, tetap jelas bahwa perjalanan transisi kita masih panjang dan jauh dari kata cepat. Tanpa akselerasi di energi terbarukan ruang gerak sektor ketenagalistrikan kita akan semakin sempit dan Indonesia berpotensi berjalan perlahan menuju sebuah jurang krisis energi.

‘Dinding’ batubara yang mengunci masa depan

Kedua, sebagai negara eksportir batubara terbesar dunia, Indonesia menerapkan penguncian harga batubara domestik yang membuat berbagai energi lainnya sulit bersaing. Kebijakan tersebut dilandasi itikad baik untuk membantu PLN mengendalikan harga listrik, tetapi juga menjadi sebuah dinding pembatas yang sulit ditembus. Kekayaan batubara Indonesia sah saja untuk dimanfaatkan tetapi jangan sampai menutup pintu bagi energi masa depan untuk dimulai.

Saat ini Indonesia seolah sibuk membangun dinding ketika dunia tengah bergerak maju. Ya, betul bahwa China dan India adalah konsumen batubara raksasa, tetapi mereka juga terdepan dalam pembangunan energi hijau di dunia. Hal ini menjadi semakin penting mengingat lebih dari 60% ekspor batubara Indonesia dikirim ke kedua negara tersebut. Seiring dengan percepatan langkah transisi mereka, akan terancam pulalah tujuan ekspor utama Indonesia.

Kita tidak bisa menghentikan negara lain membeli komoditas Indonesia, namun kita bisa menarik sebagian dari keuntungan ekonomi sektor batubara -dan sumberdaya terkait energi lainnya- untuk bertransisi. Harga listrik tetap bisa dikelola dengan menggunakan pungutan komoditas yang sebagian besarnya digunakan untuk tetap mengendalikan harga listrik selagi turut dialokasikan untuk membantu PLN bergerak maju.

Mengawal PLN janganlah setengah jalan

Baca juga : Mau Transisi Energi Berjalan Mulus? Kuncinya, Kemitraan Strategis

Ketiga, tanpa komitmen politik yang kuat untuk berubah, pada akhirnya PLN akan tetap menjadi sebuah entitas yang penuh kerahasiaan dengan berbagai sejarah di dalamnya. Dorongan untuk meningkatkan keterbukaan PLN sering bergesekan dengan kecurigaan adanya niat untuk meliberalisasi sektor ketenagalistrikan, sebuah topik yang kerap diputar ulang di Mahkamah Konstitusi.

Dorongan balik tersebut wajar adanya karena konstitusi Indonesia yang memberi keutamaan strategis bagi PLN, namun sayangnya pengawalan tersebut seolah selalu tuntas ‘setengah jalan’ dalam mendorong kemajuan. Nyatanya, kelebihan pasokan listrik saat ini yang merugikan keuangan PLN puluhan triliun setiap tahun terjadi karena kegagalan perencanaan dalam status PLN yang ‘terlindung’ di bawah 100% kepemilikan pemerintah.

Ya, kita memang perlu berhati-hati mengawal sektor ketenagalistrikan tetapi hendaknya semua pihak juga mendorong penguatan tatakelola sektor tersebut. Kehadiran sebuah governance yang kuat, dilengkapi kemampuan teknis mumpuni dan berjarak dari ruang politik sangatlah penting. Hari ini bisa hampir dipastikan bahwa tidak ada pihak di luar PLN yang me- mahami dengan jelas bagaimana pengoperasian dan perencanaan sektor tersebut berlangsung.

Sektor ketenagalistrikan yang sangat kompleks memerlukan jangkar untuk mengimbangi intrusi kepentingan, baik dari dalam maupun dari luar. Karena sekali PLN salah melangkah maka imbasnya akan diemban rakyat selama puluhan tahun ke depan, tersamarkan dalam lembaran laporan keuangan PLN, tagihan listrik rakyat, dan tentunya APBN.

Sebagai penutup, transisi energi ke depan memiliki berbagai wajah, dari melistriki desa terpencil untuk menggantikan genset ber-BBM impor, hingga mendorong ketersediaan energi bersih untuk mendukung daya saing industri kita dalam percaturan dunia. Berbagai potensi energi bersih dari alam Indonesia tengah menunggu keseriusan kita dalam mengantisipasi implikasi transisi dunia bagi bangsa Indonesia, dan tidak hanya bagi PLN.

Baca juga : Uji Akurasi Survei, Pakar Ini Usul Pembentukan Dewan Etik Surveyor

Saatnya kita melihat bahwa transisi energi bukanlah hanya perkara topik ruang elite, tetapi memiliki dimensi pragmatis dalam mendorong Indonesia melangkah ke depan. Sebuah langkah tepat bagi Indonesia, dan juga tepat dalam menjaga kesetimbangan alam yang perlu kita kawal bersama.

Penulis merupakan Sarjana Teknik Institut Teknologi Bandung, dan Magister Kebijakan Publik dari London School of Economics & Political Science. Dan telah menggeluti bidang energi selama lebih dari 15 tahun, dan memimpin berbagai proyek penting, memegang berbagai posisi kepemimpinan di perusahaan-perusahaan Fortune500, dan memberikan nasihat kepada beragam pemangku kepentingan publik dan swasta.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.