Dark/Light Mode

Trend Islam di AS (63)

Islamophobia Dan AS

Kamis, 27 Juni 2019 08:23 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Deretan peristiwa dan tragedi kemanusiaan yang dilakukan segelintir orang dengan memperatasnamakan Islam menimbulkan ketakutan publik terhadap Islam atau terakhir ini biasa disebut Islamophobia. Istilah Islamophobia pertama kali dikembangkan seorang orientalis bernama Etennne Dinet dalam bukunya “Islamophobia” yang diterbitkan dalam tahun 1990-an.

Istilah ini dengan cepat berkembang terutama setelah peristiwa 9/11. Yang dimaksud Islamophobia menurut Jocelyin Cesari, ialah wacana sekuler anti-Islam modern yang tampak di dunia public yang dihubungkan dengan komunitas imigran muslim (a modern and secular anti-Islamic discourse and appearing in the public sphere with the integration of muslim immigrant communities ).

Istillah ini semakin terdengar di mana-mana dengan semakin maraknya dunia kejahatan yang dihubungkan dengan agama (Islam). Di tengah maraknya semangat Islamophobia, Obama justru tampil beda dengan tokoh-tokoh masyarakat lainnya di AS. Obama membedakan antara oknum di dalam umat Islam. Ia secara pribadi memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan tentang hubungan antara Islam dan umat Islam mainstream, dan kelompok minoritas radikal.

Baca juga : Kepribadian Ganda Migran Muslim Di AS: Pengalaman Komunitas Indonesia (2)

Ia pernah mengatakan: “Budaya Islam telah memberikan kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menulang tinggi, puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu, musik yang dihargai, kaligrafi yang anggun, dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai.

Dan sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras merupakan suatu keniscayaan”. Cuplikan pernyataan Obama ini disampaikan dalam acara yang popular dengan sebutan “President seeks new beginning between U.S., Muslims based on mutual respect”, pada tanggal 4 Juni 2009 di Kairom Mesir.

Pidato ini kemudian mengundang kontroversi di Amerika Serikat dan Israel. Pada tanggal 19 Februari 2015 Presiden Obama dalam Opening Remarks-nya pada “The White House Summit on Countering Violent Extremism” kembali membuat statmen yang mengundang kontroversi.

Baca juga : Kepribadian Ganda Migran Muslim Di AS : Pengalaman Komunitas Indonesia (1)

Banyak warga menunggu Presiden Obama akan memberikan pernyataan keras terhadap kelompok radikal muslim, khususnya yang dilakukan oleh kelompok ISIS, tetapi ternyata yang keluar ialah “kalimat-kalimat kearifan”, yang tentu saja mengecewakan sebagian orang dan membuat lega warga lain, khususnya umat Islam di AS.

Obama bahkan menonjolkan sisi lain hubungan baik antara orang-orang Islam dan non-muslim. Antara lain ia mengatakan: “Kita harus mengingat bahwa umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, pemuda Palestina membangun saling pengertian dan kepercayaan dengan warga Israel, namun mereka masing-masing tetap menyuarakan aspirasinya masyarakatnya.

Kalangan ulama bekerjasama membangun perdamaian bersama kalangan pastor dan pendeta di Nigeria dan Afrika bagian Tengah untuk mengambil prakarsa menghentikan siklus kebencian. Upaya yang sama terus dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat Indonesia sebagai salahsatu di antara negara demokrasi terbesar di dunia dan parlemen di Tuniasia, salahsatu negara paling baru membangun negara demokrasi”. 

Baca juga : AS Dan Muslim Stateless

Presiden Obama lebih menekankan aspek petemuan (encountering) ketimbang perbedaan apalagi konflik. Kelihatan di dalam forum itu Obama tampil sebagai sosok Negarawan yang pantas memimpin AS. Sebagian peserta berkomentar bahwa speech Obama bukan hanya menjadikan dirinya sebagai negarawan tetapi juga sebagai akademisi. 

Satu sisih terbuka secara obyektif tetapi unsur diplomasinya tetap ada. Sebetulnya bukanlah Obama sebagai orang Amerika pertama mengungkapkan pernyataan tersebut melainkan hampir semua ilmuan sejarah obyektif menyatakan hal yang sama. Edwar Said, John L Esposito, Ivon Hadad, Karen Armsrong, dan khususnya Marshall G.S. Hodgson yang menulis sebuah karya monumental 2 jilid, The Venture of Islam, The Classical Age of Islam.

Di dalam karya-karya mereka menggambarkan Islam dan dunia Islam sebagai The Great Agent of Multiple Changes. Mereka tidak bisa menyembunyikan ketakjubannya tentang peran besar orang-orang Asia-Afrika muslim yang telah merintis peradaban baru kemanusiaan. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.