Dark/Light Mode

Rekonsolidasi Strategi Kebudayaan Nasional (1)

Pengantar (1)

Selasa, 13 Desember 2022 06:30 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

 Sebelumnya 
Mengapa kita tidak belajar dari sejarah bangsa lain? Jepang sudah jauh sebelumnya sudah menyadari dan sekaligus men­gantisipasi perkembangan zaman yang begitu cepat dengan terus menerus melakukan rekonsolidasi kebudayaan dan peradaban nasionalnya dengan penuh perencanaan. Wakil Menteri Pendidikan RRC periode lalu sudah merancang konsep Pendidikan dan strategi kebudayaan untuk satu abad ke depan, termasuk konsep bela negaranya yang secara holistic.

Mengapa para pemimpin negara tidak mengagendakan sebuah strategi kebudayaan nasional yang mampu menjadi kekuatan fundamental bangsa ini? Mengapa LIPI tidak memberikan pertimbangan komperhensif untuk membangun sebuah negara bangsa yang ideal dan tangguh? Di mana Lemhannas yang sepertinya tidak mampu memberikan roadmap di dalam mengelola bangsa ini? Mengapa Perguruan Tinggi kelihatannya hanya asyik dengan dirinya sendiri, tanpa memberikan opsi-opsi luas dan komperhensif kepada warga bangsanya?

Baca juga : Belajar Diplomasi Publik Dari Surat-Menyurat Nabi

Mengapa para tokoh agama lebih terfokus berbicara tentang doktrin dan dogma agama, padahal para ulama dan tokoh agama yang tergabung di dalam the founding fathers juga aktif berbicara tentang nasionalisme dan patriotisme?

Di mana kekuatan mahasiswa yang katanya selalu menjadi agent of change? Mengapa media public dan media social lainnya lebih terpanah kepada obyek pemberitaan yang seksi (viral), semisal kasus-kasus criminal konsumsi poblik, dunia selebriti, dan perkembangan politik praktis?

Baca juga : Diplomasi Publik Dari Perjanjian Hudaibiyyah

Mengapa media juga tidak lagi tertarik mempromosi­kan sosok guru bangsa, ilmuan kritis semisal Cak Nur, Kunto Wijoyo, Bang Imad, Frans Seda, dll. Kita bersedih dalam de­cade terakhir ini akan kepergian sosok pribadi Tangguh: Yacob Utama, Syafi’i Maarif, Azyumardi Azra.

Tidak lagi dimunculkan sosok budayawan kritis seperti Muchtar Lubis, WS Rendra, dan kita doakan Cak Nun se­moga Panjang umur. Kita tidak tahu di mana Taufik Ismail sekarang? Kita juga menantikan para jenderal kritis dan cerdas seperti Ali Murtopo, Rudini, dengan segala kelema­hannya, tokoh birokrat sejati seperti Baharuddin Lopa, Emil Salim, dan lain-lain.

Baca juga : Pelajaran Diplomasi Publik Dari Zulaikhah

 Mengapa media lebih tertarik mempromosikan “ustas” atau “ulama” yang tidak mempunyai sanad keilmuan yang jelas daripada the real ulama, yang mampunyai kapa­sitas dan otonomi intelektual semisal Hamka, Gus Dur, dan Romo Mangun? Kita harus sadar bahwa tidak ada negara dan bangsa yang besar tanpa didukung oleh budaya nasional yang tangguh. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.