Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Sebelumnya
Perhatikan pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Fadli Zumhana pada hari Ketika Sambo divonis hukuman mati: perbedaan pandangan dalam hukuman terhadap terdakwa atau korban adalah hal yang biasa. Di mata terdakwa, pembela kepingin hukuman serendah mungkin; sebaliknya di pihak korban, mereka berharap pelaku dihukum setinggi mungkin. “Itu hal biasa dalam peradilan”. Semua pihak harus menghormati kewenangan Jaksa. Jaksa penuntut umum tidak bisa disalahkan; mereka juga punya dalil-dalil sendiri.
Tapi, jika Jaksa menuntut Bharada Eliezer 12 tahun, sedang Majelis Hakim akhirnya hanya menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara, apakah hal ini masih bisa dikatakan “hal biasa” atau “normal”? Ajukan saja pertanyaan ini kepada para mahasiswa hukum atau masyarakat luas!! Semua akan menertawakan jaksa. Pasti ada “something wrong” dalam misteri seperti ini kan?
Baca juga : Mahfud: Ini Peradilan Yang Berkeadaban, Tidak Jadul
Bisakah dikatakan puluhan jaksa yang maju di pengadilan tidak cakap atau tidak professional? Tidak membaca fakta dan bukti-bukti di persidangan secara teliti atau tidak serius? Atau ada factor XYZ lain yang tentu saja tidak bisa diungkap di forum ini? Bukankah 10 hari yang lalu, Pro. Mahfud MD, Menko Polhukam, sudah wanti-wanti “mencium” gerilya pihak tertentu untuk mempengaruhi jalannya sidang Sambo? Toh, Mahfud masih percaya Hakim tidak akan dipengaruhi kelompok-kelompok gerilya itu.
Yang jelas, segera setelah vonis atas Eliezer dibacakan, suara publik yang keras sudah berkoar di mana-mana, terutama di media sosial, televisi, media cetak dan lain-lain. Sebagian besar mempertanyakan kapasitas korps kejaksaan, khususnya yang diterjunkan di sidang pembunuhan berencana atas Yoshua Hutabarat.
Baca juga : Amerika Jatuhkan Sanksi Baru Ke Junta Myanmar
Yang aneh bin Ajaib adalah sikap Jaksa mengenai Justice Colaborator (JC) yang terlalu kaku dan tidak diteliti secara saksama. Jaksa hanya berpaku [ada pendirian bahwa Eliezier jelas-jelas ikut membunuh Yoshua, dan pelaku kejahatan tidak bisa diberikan status JC.Maka, surat resmi dari LPSK tentang status Eliezer sebagai JC pun dikesampingkan. Padahal LPSK bekerja berdasarkan UU 31/2014. Dan ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur cukup detil kapan JC harus dihormati dan kapan tidak bisa diakui hak-haknya seperti menyangkut kasus terorisme. Namun, jika terkait kasus pembunuhan, status JC seseorang harus diakui jika ia terbukti bukan pelaku utama. Jika ia pelaku pembantu, turut-serta dan lain sebagainya, kesaksian JC tentu tidak bisa seenaknya dibuang ke tong sampah.
Maka, sangat menarik investigasi Hakim yang sangat dalam tentang status JC Eliezer dengan kesimpulan Eliezer berhak menikmati status status JC-nya.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya