Dark/Light Mode

Menggagas Fikih Siyasah Indonesia (45)

Kaidah-kaidah Politik Ahlus Sunnah

Minggu, 9 Juli 2023 06:10 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Yang dimaksud dengan kai­dah-kaidah politik di sini ialah kristalisasi sejumlah ayat dan hadis yang dirumuskan para ulama ke dalam bentuk pedoman umum (nidham al-‘am/the logic of jurisprudence).

Kaidah-kaidah ini nantinya digunakan untuk memecahkan sejumlah persoalan aktual-kon­temporer di dalam masyarakat.

Pembahasan tentang kaidah-kaidah ini banyak dibahas di dalam Ushul Fikih. Itulah se­banya kaidah-kaidah tersebut sering disebutkan juga dengan kaedah-kaedah ysul (al-qawa’d al-ushuliyyah).

Dalam lintasan sejarah politik dunia Islam, kaidah-kaidah ini sangat mencerahkan dan berhasil mengeliminir konflik yang tidak produktif.

Kaidah-kaidah tersebut tidak muncul di masa awal Islam (the proto of Islamic law), tetapi muncul pada abad kedua setelah Rasulullah wafat.

Baca juga : Pandangan Politik Al-Ghazali

Kaidah-kaidah tersebut sema­kin berkembang dengan semakin meluasnya perkembangan dinamika umat Islam. Di Indonesia, peranan kaidah-kaidah ushul juga sangat membantu di dalam menjembatani berbagai intrik-intrik politik yang mengarah kepada perpecahan bangsa, sebagaimana akan diuraikan dalam bahasan yang akan datang.

Di dalam literatur perkembangan dunia Islam, sebagaimana diuraikan di dalam buku (disertasi) Prof Ali Haidar: “Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik”, dijelaskan setidaknya ada lima kaidah yang amat polpuler (al-qawa’id al-khams al-kubra).

Kelima kaidah tersebut sebagai berikut: 1) Al-umur bi maqa­shidiha (setiap perbuatan tergan­tung tujuannya). 2) Al-yaqin la yuzalu bi al-syakk (keyakinan tidak hilang karena keraguan). 3) Al-dharar yuzal atau la dharara wa la dhirar (bahaya dihilang­kan” atau “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan). 4) Al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan dapat diberi kemuda­han). 5) Al-‘adah muhakkamah (sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan diakui).

Lebih lanjut Ali Haidar mengatakan bahwa kaidah-kaidah po­kok tersebut memiliki beberapa rincian, misalnya kaedah ketiga ditemukan perinciannya seperti: Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan0 dan iża ta‘aradha mafsadatani ru‘iya a‘zhamuha dhararan bi irtikabi akhafihima (jika terjadi per­tentangan beberapa bahaya di­pertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.

Kaidah detail lainnya ialah: Ma la yatimm al-wajib illa bihifa huwa al-wajib (kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib), dan Al-maysur la yasquthu bi al-ma‘sur (ke­mudahan tidak gugur karena kesulitan).

Baca juga : Syarat-syarat Pemimpin (Imam)

Kaidah-kaidah tersebut meru­pakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari’ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam.

Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebut akan memudahkan memahami hukum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hu­kum terhadap problematik yang muncul.

Dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fikih terse­but.

Buku ini disusun dalam be­berapa bab dan anak bab sebagai berikut. Bab satu mengurai­kan latar belakang pemikiran mengapa buku ini ditulis.

Bab dua menguraikan tentang perkembangan pemikiran politik dalam sejarah Islam, khususnya pemikiran politik abad pertengahan yang hidup di kalangan ahli fikih.

Baca juga : Kontroversi Pandangan Politik Al-Mawardi

Hal ini dianggap penting karena berkaitan dengan tradisi yang berkembang di kalangan NU.

Studi politik muncul dalam proses sejarah bersamaan dengan perkembangan Islam itu sendiri. Secara lebih sistematis mendapat perhatian sesudah abad kedua Hijriah.

Namun peristiwa sejarahnya sendiri terjadi sejak awal karena perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan stabilitas politik yang berhasil dikembangkan.

Polemik yang sampai kini berkembang ialah apakah kekua­saan politik Nabi Muhammad sebagai bagian dari risalah Nabi ataukah merupakan kebutuhan historis yang terlepas dari ri­salah itu.

Konsep-konsep yang dimun­culkan mengenai soal ini cukup kontroversial. Namun peristiwa sejarah politik Islam sendiri cukup relevan mengundang kon­troversi itu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.