Dark/Light Mode
- Turun Rp 11.000, Harga Emas Dibanderol Rp 1.343.000 Per Gram
- Akhir Pekan, Rupiah Melemah Ke Rp 15.985 Per Dolar AS
- Indra Karya Jempolin Manfaat Bendungan Multifungsi Ameroro Di Sulteng
- Pertamina EP Pertahankan Kinerja Positif Keuangan Tahun Buku 2023
- PGN Saka Kantongi Perpanjangan Kontrak WK Ketapang Bersama Petronas
Menggagas Fikih Siyasah Indonesia (45)
Kaidah-kaidah Politik Ahlus Sunnah
RM.id Rakyat Merdeka - Yang dimaksud dengan kaidah-kaidah politik di sini ialah kristalisasi sejumlah ayat dan hadis yang dirumuskan para ulama ke dalam bentuk pedoman umum (nidham al-‘am/the logic of jurisprudence).
Kaidah-kaidah ini nantinya digunakan untuk memecahkan sejumlah persoalan aktual-kontemporer di dalam masyarakat.
Pembahasan tentang kaidah-kaidah ini banyak dibahas di dalam Ushul Fikih. Itulah sebanya kaidah-kaidah tersebut sering disebutkan juga dengan kaedah-kaedah ysul (al-qawa’d al-ushuliyyah).
Dalam lintasan sejarah politik dunia Islam, kaidah-kaidah ini sangat mencerahkan dan berhasil mengeliminir konflik yang tidak produktif.
Kaidah-kaidah tersebut tidak muncul di masa awal Islam (the proto of Islamic law), tetapi muncul pada abad kedua setelah Rasulullah wafat.
Baca juga : Pandangan Politik Al-Ghazali
Kaidah-kaidah tersebut semakin berkembang dengan semakin meluasnya perkembangan dinamika umat Islam. Di Indonesia, peranan kaidah-kaidah ushul juga sangat membantu di dalam menjembatani berbagai intrik-intrik politik yang mengarah kepada perpecahan bangsa, sebagaimana akan diuraikan dalam bahasan yang akan datang.
Di dalam literatur perkembangan dunia Islam, sebagaimana diuraikan di dalam buku (disertasi) Prof Ali Haidar: “Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik”, dijelaskan setidaknya ada lima kaidah yang amat polpuler (al-qawa’id al-khams al-kubra).
Kelima kaidah tersebut sebagai berikut: 1) Al-umur bi maqashidiha (setiap perbuatan tergantung tujuannya). 2) Al-yaqin la yuzalu bi al-syakk (keyakinan tidak hilang karena keraguan). 3) Al-dharar yuzal atau la dharara wa la dhirar (bahaya dihilangkan” atau “tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan). 4) Al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan dapat diberi kemudahan). 5) Al-‘adah muhakkamah (sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan diakui).
Lebih lanjut Ali Haidar mengatakan bahwa kaidah-kaidah pokok tersebut memiliki beberapa rincian, misalnya kaedah ketiga ditemukan perinciannya seperti: Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan0 dan iża ta‘aradha mafsadatani ru‘iya a‘zhamuha dhararan bi irtikabi akhafihima (jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.
Kaidah detail lainnya ialah: Ma la yatimm al-wajib illa bihifa huwa al-wajib (kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib), dan Al-maysur la yasquthu bi al-ma‘sur (kemudahan tidak gugur karena kesulitan).
Baca juga : Syarat-syarat Pemimpin (Imam)
Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari’ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam.
Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebut akan memudahkan memahami hukum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematik yang muncul.
Dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fikih tersebut.
Buku ini disusun dalam beberapa bab dan anak bab sebagai berikut. Bab satu menguraikan latar belakang pemikiran mengapa buku ini ditulis.
Bab dua menguraikan tentang perkembangan pemikiran politik dalam sejarah Islam, khususnya pemikiran politik abad pertengahan yang hidup di kalangan ahli fikih.
Baca juga : Kontroversi Pandangan Politik Al-Mawardi
Hal ini dianggap penting karena berkaitan dengan tradisi yang berkembang di kalangan NU.
Studi politik muncul dalam proses sejarah bersamaan dengan perkembangan Islam itu sendiri. Secara lebih sistematis mendapat perhatian sesudah abad kedua Hijriah.
Namun peristiwa sejarahnya sendiri terjadi sejak awal karena perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan stabilitas politik yang berhasil dikembangkan.
Polemik yang sampai kini berkembang ialah apakah kekuasaan politik Nabi Muhammad sebagai bagian dari risalah Nabi ataukah merupakan kebutuhan historis yang terlepas dari risalah itu.
Konsep-konsep yang dimunculkan mengenai soal ini cukup kontroversial. Namun peristiwa sejarah politik Islam sendiri cukup relevan mengundang kontroversi itu.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.