Dark/Light Mode

Pancasila dan Nasionalisme Indonesia (2)

Nasionalisme Terbuka (2)

Jumat, 28 Februari 2020 05:50 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang mengalami nasib penderitaan yang sama.

Di samping persamaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi obyektif maupun kondisi subyektif.

Kesatuan kebangsaan ini juga biasa diistilahkan dengan nasionalisme Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai unsur dengan sub kulturnya masing-masing lalu menjalin kesepakatan menampilkan diri sebagai suatu komunitas yang utuh.

Baca juga : Nasionalisme Terbuka (1)

Berbeda dengan masyarakat heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen ideologis yang kuat. Masyarakat pluralisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan masyarakat, tetapi pluralisme harus difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana di simbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika (bercerai berai tetapi tetap satu).

Pluralisme juga harus disertai dengan sikap yang tulus menerima kenyataan kemajmukan itu sebagai hikmah yang positif.

Di sini hadis Nabi Muhammad mempunyai arti yang amat penting, yaitu “perbedaan yang muncul di antara umatku adalah rahmat”. Interaksi dinamis–bukan indoktrinasi aktif dari penguasa–dari realitas budaya yang berbeda melahirkan sintesa dan konfigurasi budaya keindonesiaan yang unik.

Baca juga : Menghayati Nasionalisme Indonesia (2)

Budaya keindonesiaan ini kelak menjadi wadah perekat (melting pot) yang efektif. Bilamana interaksi dinamis terjadi dalam masyarakat, maka unsur-unsur lokal dan primordial, seperti suku, bangsa, agama berposisi sebagai kekuatan daya penyatu (centrip etal).

Akan tetapi, jika interaksi dinamis tidak terjadi dan sebaliknya yang terjadi adalah indoktrinasi, maka unsur-unsur tersebut akan muncul sebagai daya pemecah belah (centrifugal).

Penerapan Fikih Kebhinnekaan seba gaimana digagas warga Nahdhiyin dan sejumlah ormas Islam lainnya ti dak semudah yang dibayangkan. Alam bawah sadar masyarakat bangsa Indonesia sudah tertanam berlapis-lapis pengalaman masa lampau, apalagi dengan isu dan wacana formalisme keagamaan, seperti fikih Islam.

Baca juga : Trans Nasional? (2)

Diperlukan pendekatan sosiologis dan psikologis lebih terprogram untuk mengembangkan formalisasi hukum agama, sungguh pun itu menggunakan istilah Fikih Kebhinnekaan, yang sepertinya sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat yang berbhinneka. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.