Dark/Light Mode

Kearifan Lokal Walisongo

Selasa, 7 Juli 2020 08:40 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Walisongo dan para penganjur awal Islam di Indonesia telah meletakkan strategi pengembangan agama Islam. Kita perlu belajar kearifan dari Walisongo yang berhasil mengembangkan Islam di Nusantara tanpa menimbulkan gesekan berarti.

Bagaimana strategi Walisongo berhasil melakukan proses islamisisasi kepada umatnya tanpa menimbulkan ketegangan intelektual?

Mereka sepertinya mencontoh bagaimana Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam di kawasan Timur-Tengah melalui tiga strategi.

Pertama, melalui tahapan proses penegenalan dan pengamalan ajaran (Al-tadrij fi Al-tasyri’), yaitu memperkenalkan dasar-dasar filosofi ajaran Islam yang sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, sehingga orang-orang tidak khawatir akan terjadinya distorsi kemanusiaan dengan penerimaan Islam.

Baca juga : Kearifan Lokal Nusantara: Bugis-Makassar (5)

Itulah sebabnya, di masa awal Islam di Mekkah hanya diperkenalkan aspek kepercayaan dan keyakinan atau aqidah, belum diperkenalkan aspek hukum yang berisi perintah dan larangan.Kedua, menyingkirkan kesulitan (‘ad-am al-haraj), yaitu menghilangkan ke san di dalam masyarakat bahwa ajaran Islam berat, merepotkan, dan membebani.

Nabi selalu mendampingi umatnya dan berusaha memperkenalkan Islam sebagai agama kemanusiaan, konsep ajarannya dapat dijangkau oleh manusia. Jika ada kesulitan selalu ada opsi jalan keluar.

Islam diperkenalkan sebagai agama yang tidak kaku, melainkan elastis dan selalu memberi ruang terhadap kearifan lokal yang selama ini mapan di dalam masyarakat.

Ketiga, pembebanan secara bertahap (taqlil al-taklif), tidak serta merta diterapkan konsep maksimum ajaran dan hukum Islam. Sebagai contoh, untuk menyatakan keharaman minuman keras yang merupakan budaya Arab ketika itu, diturunkan 4 ayat secara bertahap hingga sampai pada puncaknya bahwa minuman keras yang memabukkan itu adalah permainan setan yang harus dijauhi (Q.S. Al-Maidah/5:90).

Baca juga : Kearifan Lokal Nusantara: Bugis-Makassar (4)

Demikian pula praktek riba dan rentenir, yang juga merupakan kebiasaan orang-orang Arab, diperlukan tujuh ayat yang turun secara bertahap untuk sampai kepada pamungkasnya, larangan memakan riba (QS. al-Baqarah/2:275).

Ketiga prinsip ini dilakukan oleh para penganjur Islam awal di Indonesia. Karena itu, mereka menganggap dak-wah itu sebagai sesuatu yang harus terus berlanjut (on-going process).

Dengan meminjam istilah Taufik Abdullah, islamisasi di Indonesia harus dianggap sebagai sesuatu yang berlapis-lapis. Lapis demi lapis nilai-nilai ajaran diperkenalkan secara sistematis.

Kita tidak bisa memperkenalkan Islam sekaligus dari aqidah sampai syari’ah dan akhlak. Yang penting bagaimana Islam mulai diperkenalkan tanpa menimbulkan resist-ensi bagi masyarakat pribumi.

Baca juga : Kearifan Lokal Nusantara: Bugis-Makassar (3)

Mungkin ada praktik syinkretisme masih tetap dibi-arkan, tetapi pada saatnya akan ditinggal-kan jika kurikulum dakwah sudah sampai kepada tahap penjernihan ajaran.

Kearifan Nabi Muhammad SAW yang ditiru oleh para Walisongo dan para penganjur Islam awal lainnya, berhasil mengetuk pintu hati pusat-pusat kerajaan lokal Nusantara, sehingga seperti apa kata Ibnu Khaldun: “Masyarakat itu mengikuti agama yang dianut rajanya”. Dalam masyarakat pater-nalistic seperti masyarakat Indonesia, apa kata rajanya itu kata rakyatnya. Dengan merangkul para raja maka otomatis sama dengan merangkul rakyatnya. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.