Dark/Light Mode

Dipo Alam: Ironis, Kok Politik Industrialisasi Ditinggalkan..!

Selasa, 8 Februari 2022 16:20 WIB
Dipo Alam. (Foto: ist)
Dipo Alam. (Foto: ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Peta jalan industrialisasi di Indonesia sebenarnya sempat dibuat pada era kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Namun terhenti dan hilang setelah BJ Habibie tidak lagi menjabat. 

Hal itu disampaikan mantan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam dalam diskusi yang digelar LP3ES di Platform: Twitter Space @DJRachbini, Senin (7/2). 

Selain Dipo, dalam diskusi bertema “Politik Industri Nasional dan Program Hilirisasi” itu, hadir dua pembicara lain, yaitu Eisha Maghfiruha, Peneliti INDEF dan Fachru Nofrian, Peneliti LP3ES/Dosen UPN.

Baca juga : Peneliti: Kolaborasi Industri Dan Vokasi Masih Perlu Ditingkatkan

"LP3ES perlu membuat kembali kajian-kajian tentang industrialisasi di Indonesia," saran Dipo.

Dipo juga bicara industrialisasi di era Presiden Soeharto. "Di era Pak Harto, terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, penanganan dan perhatian pada sektor pertanian dan pupuk termasuk luarbiasa. Politik industri ke mekanisasi pertanian dengan membangun industri pupuk, NPK, semua ada konsepnya. Pak Harto memiliki data-data statistik industri pertanian lengkap," urai Dipo.

Namun, ironis, lanjut Dipo, setelah reformasi, politik industrialisasi malah ditinggalkan. Subsidi pupuk malah jadi bancakan korupsi di pusat dan daerah. Politik industri telah ditinggalkan. KKN luar biasa terjadi pada subsidi pupuk. 

Baca juga : Rekat Indonesia Sayangkan Elit Politik Masih Mainkan Isu SARA

"Padahal dulu ada Kuntoro Mangkusubroto ahli sistem ITB yang menciptakan UKP4 yang bisa memonitor sektor pertanian, sehingga para Bupati, Kepala Desa, Parpol-parpol yang disetir oligarki tidak bisa bermain-main dengan pupuk. Jelas, korupsi dan KKN harus diberantas jika mau membangun sistem yang baik," tegas Dipo.

Eisha M Rachbini menyampaikan pemikiran lebih dalam soal industrialisasi ini. Kata Eisha, dari riset tentang hilirisasi industri di Indonesia, point penting yang harus dicatat adalah dengan kepemilikan sumber daya alam (SDA) berlimpah, Indonesia harus bisa menemukan cara agar SDA berlimpah dapat diolah oleh industri pengolahan dalam negeri dan menciptakan produk yang bernilai tambah tinggi.

Tidak hanya mengandalkan ekspor bahan mentah yang tergantung pada volatilitas harga komoditas di luar negeri. Seperti pertumbuhan ekonomi kuartal IV ini yang bergantung kepada bahan mentah dan sumberdaya alam dimana harganya di pasar internasional naik pesat. 

Baca juga : Subsitusi Impor Jalan, Industri Baja Makin Kuat

"Indonesia harus menempuh reformasi struktural perekonomian dari produk-produk bernilai tambah rendah kepada produk bernilai tambah tinggi," kata Eisha.

Saran lain yang disampaikan Eisha, harus ada perpindahan alokasi sumber daya dari modal kerja dan tenaga kerja ke sektor produksi bernilai tambah tinggi. Proses tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh negara industri maju yang memulai dari industri pengolahan ke industrialisai skala besar manufaktur, kemudian baru beralih ke sektor jasa yang mempunyai kontribusi besar dari masing-masing sektor terhadap GDP. 

Di kesempatan yang sama, Fachru Nofrian menyatakan, satu-satunya strategi ekonomi yang bisa menghasilkan akumulasi hanyalah Hilirisasi dan industrialisasi. "Sayangnya di Indonesia muncul hilirisasi tetapi tidak mempunyai politik industri mumpuni, sehingga tidak terjadi industrialisasi," kata Fachru. [DIT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.