Dark/Light Mode

Catatan Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra

Hanya Ada Tiga Jalan Untuk Menunda Pemilu

Minggu, 27 Februari 2022 09:08 WIB
Ahli Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Foto: Instagram)
Ahli Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Foto: Instagram)

 Sebelumnya 
Secara berseloroh, saya katakan kepada Ali Sadikin, saya heran beliau mengatakan cara berhentinya Presiden Suharto tidak sah.

Kalau tidak sah, berarti Soeharto masih Presiden RI yang sah. Apa itu yang Pak Ali Sadikin mau?

Tahun 1998, ada 100 orang advokat yang menamakan dirinya “Advokat Reformasi”. Mereka menggugat keabsahan berhentinya Presiden Soeharto ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil saya untuk didengar keterangannya mengenai proses, prosedur dan landasan hukum berhentinya Soeharto dan keabsahan pergantiannya oleh Wapres BJ Habibie.

Saya memenuhi permintaan majelis hakim. Akhirnya, Majelis hakim memutuskan menolak gugatan 100 Pengacara Reformasi itu.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat bahwa prosedur berhentinya Presiden Soeharto dan digantikan BJ. Habibie adalah sah menurut hukum.

Baca juga : PDIP Maunya Ahok, Ada Yang Menolak?

Saya kemudian bertanya kepada Suhana Natawilana, SH, salah seorang tokoh penggugat, apakah akan ajukan banding?

Dia bilang tidak. Mereka menerima putusan PN Jakarta Pusat itu. Banyak orang yang tidak tahu, bahwa polemik keabsahan berhentinya Presiden Soeharto dan naiknya BJ Habibie itu akhirnya masuk ranah pengadilan. Dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Saya mengungkapkan kembali peristiwa berhentinya Presiden Soeharto dan digantikan BJ. Habibie itu sebagai catatan sejarah bahwa legalitas dan legitimasi penyelenggara negara itu sangat penting, untuk mencegah meluasnya konflik politik.

Persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini, tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik.

Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.

Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara.

Baca juga : Corona Delta Ngamuk, Kinerja Industri Pengolahan Triwulan III Menurun

Pertama, amandemen UUD 45. Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention), yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum.

Terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.

Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu, dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45.

Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019. Serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini.

Apa yang perlu diubah, sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum.

Baca juga : Masih Jauh, Perjalanan Indonesia Menuju Endemi

Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.

Ayat (8) Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.

Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.