Dark/Light Mode

Catatan Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra

Hanya Ada Tiga Jalan Untuk Menunda Pemilu

Minggu, 27 Februari 2022 09:08 WIB
Ahli Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Foto: Instagram)
Ahli Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra (Foto: Instagram)

 Sebelumnya 
Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.

Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru.

Kedudukan Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru.

Jalan kedua, di luar mengubah UUD 45 adalah Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu. Sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat, yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah.

Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Baca juga : PDIP Maunya Ahok, Ada Yang Menolak?

Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta), pengkhianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

Masalahnya, apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil staatsnoodrechts (keadaan darurat negara) atau noodstaatsrechts (hukum tata negara dalam keadaan darurat). Sebagaimana didalilkan oleh Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro. Karena tidak cukup alasan untuk menyatakan adanya faktor itu.

Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil, berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI.

Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959.

Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum, dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.

Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001.

Baca juga : Corona Delta Ngamuk, Kinerja Industri Pengolahan Triwulan III Menurun

Saya mengingatkan Presiden, dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, yang memang berkewajiban memberikan nasehat hukum kepada Presiden.

Saya katakan, rencana Presiden mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.

Kalau tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk itu tidak ada.

Lagipula, dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer. Sementara saya melihat, TNI kala itu justru enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut.

Mengingat pada waktu itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan diri saja.

Hal itu baik bagi Presiden pribadi, dan baik juga bagi bangsa dan negara. Ketimbang Presiden dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR.

Namun, tausiyah saya itu disambut Presiden dengan kemarahan.

Baca juga : Masih Jauh, Perjalanan Indonesia Menuju Endemi

Esoknya tanggal 7 Februari 2001, saya diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharudin Lopa.

Lopa bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II di MPR, suatu tugas yang sebelumnya saya tolak untuk melaksanakannya.

Dekrit akhirnya diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana.

Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.