Dark/Light Mode

Restorative Justice Kasus

Firli Cs Mau Pakai Resepnya Jaksa Agung

Minggu, 30 Oktober 2022 07:36 WIB
Gedung KPK. (Foto: Ist)
Gedung KPK. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji pemberlakuan restorative justice untuk kasus korupsi. Lembaga yang dikomandoi Firli Bahuri ini ingin mencoba resepnya Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam menangani kasus. Bukannya dapat dukungan, KPK malah banjir bully-an.

Restorative justice merupakan konsep penyelesaian tindak pidana secara damai dan bertoleransi kepada korban. Dalam hal ini, tersangka korupsi tidak akan dipidana jika restorative justice diterapkan di kasus korupsi.

“Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron dalam webinar bertajuk "Restorative Justice untuk Penyelesaian Kasus Korupsi", Jumat (28/10).

Menurut Ghufron, dalam melakukan upaya penindakan ini, KPK masih mengikuti proses peradilan yang bersifat "inquisitoir" atau pemeriksaan. Artinya, kebenaran akan didapatkan melalui serangkaian proses mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga mencari kebenaran materiil di persidangan.

"Melalui putusan pengadilan ini diharapkan dapat menghasilkan kebenaran dan keadilan, baik bagi pelaku tindak pidana korupsi, korban, dan kepentingan negara," tambahnya. 

Baca juga : Urusan Sambo Pindah Ke Jaksa Agung

Ghufron menambahkan, tindak pidana korupsi memiliki perbedaan dengan pidana umum. Di mana pada satu kasus tindak pidana korupsi biasanya dilakukan lebih dari satu orang atau bisa disebut sebagai kejahatan komunal.

Korupsi memberikan dampak kerugian besar bagi rakyat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang dimiliki. "Keadilan di hadapan publik itu bagaimana merestore-nya? Ini yang harus kita kaji bersama," sebut dia.

Ketua KPK, Firli Bahuri menyebut, pihaknya berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menangani perkara korupsi. Prinsipnya, KPK memegang teguh tujuan penegakan hukum yang salah satunya adalah memberikan kepastian hukum.

"Tetap saja kita berpedoman kepada asas bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kita laksanakan kecuali karena ketentuan, prosedur, mekanisme, dan syarat yang diatur peraturan undang-undang," ucap Firli 

Selain itu, KPK juga harus mewujudkan keadilan serta menimbulkan kemanfaatan dalam menegakkan hukum. "Tiga prinsip dasar inilah yang kita pegang di dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum," imbuh mantan Kapolda NTB tersebut. 

Baca juga : Restorative Justice Perlu Didukung Undang-Undang

Menanggapi usulan restorative justice, IM57+ Institute, keheranan. Ketua IM57, Praswad Nugraha mengaku, tak habis pikir soal adanya kajian restorative justice kasus korupsi. Sebab, menurutnya, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Jika restorative justice itu diterapkan, pihaknya khawatir akan menimbulkan sifat para pelaku korupsi yang menganggap korupsi seperti berdagang.

"Transaksional saja, jika ketahuan dan ketangkap, tinggal bayar. Jika tidak ketahuan, selamat. Banyak belajar deh tentang restorative justice," ujar Nugraha, dalam keterangannya, kemarin. 

Sedangkan, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter menilai, restorative justice  dalam kasus Tipikor adalah hal yang tidak tepat. Cuma membingungkan rakyat. Karena tidak ada aturan jelas yang dimaksud korban dalam perkara rasuah. "Korban dalam restorative justice diketahui harus mendapatkan kembali hak dari kerugian yang telah diterima," ucap Lola. 

Lola berpendapat, apabila restorative justice ingin diterapkan dalam penanganan Tipikor, maka penegak hukum perlu menegaskan siapa korban yang layak menerima ganti kerugian. "Karena konstruksinya bisa macam-macam. Kalau misalnya dibilang negara kok yang kerugian, tapi kan pajaknya rakyat yang bayar. Emang rakyat enggak kerugian?" cetusnya.

Terpisah, pengamat hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad menduga, KPK terinsipirasi dengan langkah Kejagung yang rajin menggunakan restorative justice dalam menangani perkara. Termasuk perkara rasuah. 

Baca juga : Erick Bersih-bersih Garuda Pakai Sapu Jaksa Agung

"Namun restorative justice di kasus korupsi itu perlu dikaji secara mendalam. Sekalipun Kejagung telah mewacanakan restorative justice  korupsi misalnya di bawah Rp 50 juta," imbuh Suparji, kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Diketahui, awal tahun 2022, Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat mengatakan pihaknya mewacanakan penyelesaian kasus korupsi dengan nominal di bawah Rp 50 juta tidak perlu melalui proses hukum. Pelaku cukup mengembalikan uang yang dikorupsinya tersebut ke negara. 

Senada, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menolak adanya restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dia bilang, restorative justice itu diterapkan untuk kasus yang sifatnya personal dan diterapkan dengan memperhatikan kepentingan korban dan pelaku. 

"Lah, kalau tindak pidana korupsi kan tidak ada kepentingan korban personal. Karena itu kalaupun penegak hukum termasuk KPK hendak menerapkan pendekatan penyelesaian di luar proses hukum via peradilan, maka ya sebaiknya tidak disebut sebagai restorative justice. Restorative justice untuk kasus tindak pidana korupsi tidak pas," tukas Arsul saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.