Dark/Light Mode

Daripada Pemilu Ditunda, M. Qodari Usul Ke Bamsoet Amandemen UUD 1945

Jumat, 9 Desember 2022 21:49 WIB
M. Qodari. (Foto: Ist)
M. Qodari. (Foto: Ist)

 Sebelumnya 
Qodari membandingkan jabatan seorang presiden yang mengatur negara masih kalah periode masa jabatannya dengan seorang kepala desa yang skalanya jauh lebih kecil.

“Berbicara waktu yang lebih panjang sesungguhnya kita sebagai negara, kita ini sistem politiknya terbolak-balik, kenapa saya sebut bolak-balik, karena kepala desa yang notabe memimpin unit terkecil di pemerintahan sangat kecil itu, masa jabatan kepala desa sudah 3 kali dan setiap satu masa jabatan 6 tahun,” terang Qodari.

Baca juga : Sudirman Said: Pemilu Adalah Pintu Masuk Bagi Percepatan Pembangunan

Untuk itu, Qodari berpendapat seorang presiden harus diberikan kesempatan waktu menjabat lebih lama. Pasalnya, untuk melakukan perubahan dan meletakan pondasi pembangunan ke depan membutuhkan waktu yang relatif panjang.

“Jadi hemat saya sih paralel bahwa masa jabatan presiden itu 3 kali 6 tahun, jadi 18 tahun. Nah itu baru kemudian kalau memang presiden itu bagus dan kalau bagus pasti diapresiasi rakyat. Maka kemudian punya waktu yang relatif panjang untuk melakukan perubahan dan meletakkan pondasi dan langkah-langkah yang besar untuk melakukan perubahan Indonesia menjadi negara maju,” urainya.

Baca juga : Bamsoet Ajak Kaji Kembali Hasil Amandemen UUD NRI 1945

Lebih jauh Qodari menjabarkan, penyelenggaraan pemilu harus dilakukan karena menyangkut legitimasi seorang kepala negara yang didapatkan dari rakyat melalui proses pemilu.

“Pertama, tidak menunda pemilu karena legitimasi pemerintahan pada hari ini memang sudah habis pada bulan Oktober tahun 2024 dan legitimasi itu hanya bisa diperbaharui dengan cara pemilihan kembali, pemilu lagi. Karena legitimasi itu berasal dari rakyat dan hanya bisa diberikan kembali oleh rakyat,” jelasnya.

Baca juga : Bamsoet Pastikan PPHN Bisa Dihadirkan Tanpa Amandemen UUD 1945

Selain itu, lanjut Qodari, di luar persoalan Pilpres 2024 juga yang masih membara yaitu terkait dengan polarisasi yang diprediksi lebih ekstrem daripada pemilu sebelum-sebelumnya.

"Kedua, menurut saya sebetulnya di luar persoalan unik Pilpres 2024 yang merupakan eskalasi konflik polarisasi ekstrem polarisasi identitas yang terjadi mulai 2014 sampai Pilkada DKI Jakarta 2017 sampai dengan Pilpres 2019. Sesungguhnya memang wajar dan pantas untuk dipikirkan kembali setelah seperempat abad reformasi kita,” tukasnya. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.