Dark/Light Mode

Potensi Teknologi Waste to Energy untuk Pengelolaan Limbah Kota yang Efektif di Jabodetabek

Rabu, 28 Desember 2022 22:49 WIB
Teknologi waste to energy solusi limbah dan energi di Jabodetabek. (Foto: The Ticker)
Teknologi waste to energy solusi limbah dan energi di Jabodetabek. (Foto: The Ticker)

Pengelolaan limbah kota merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam penanganan polusi kota. Buruknya pengelolaan limbah dapat membahayakan kehidupan manusia, hewan, dan keberlanjutan sumber daya lingkungan. Produksi limbah kota meningkat sepanjang tahun, mayoritas disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan peningkatan populasi. Tingginya jumlah limbah yang dihasilkan di area Jabodetabek disebabkan karena area ini memiliki populasi yang lebih tinggi dibandingkan area lain. Semakin tinggi jumlah populasi maka semakin banyak juga limbah yang dihasilkan. 

Jumlah penduduk wilayah metropolitan Jabodetabek dengan luas 6757.8 km2 adalah sekitar 31 juta jiwa pada tahun 2020. Kawasan ini merupakan pusat pemerintahan, perekonomian dan kebudayaan Indonesia. Jabodetabek diprediksi akan menghasilkan limbah sebesar 37.279.117 ton/tahun pada 2022. Pengelolaan limbah di area Jabodetabek mayoritas masih menggunakan skema konvensional pengumpulan-pemindahan-pembuangan. Skema ini ramah biaya namun buruk untuk jangka waktu panjang karena tempat pemrosesan akhir (TPA) memiliki kapasitas yang terbatas. Hal ini terjadi pada tempat pemrosesan sampah terpadu (TPST) Bantargebang di area Jabodetabek. Saat ini, tinggi TPST Bantargebang menyentuh 50 meter dengan luasan area 104 ha dan sampah yang dihasilkan mencapai 7702 ton per hari. TPST Bantargebang diprediksi akan mencapai kapasitas maksimalnya pada tahun 2022.

Saat ini, strategi utama yang diterapkan pemerintah Jabodetabek terkait pengelolaan sampah adalah dengan mengurangi (reduce), mendaur ulang (recycle), dan menggunakan kembali (reuse) sampah. Kebanyakan dari sampah yang tidak bisa didaur ulang dan sampah yang tidak bisa digunakan kembali dibuang di TPA. Meskipun TPA mungkin merupakan solusi paling ekonomis dalam jangka pendek, dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan dan keberlanjutan menyebabkan masalah yang kompleks. Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa, dibandingkan dengan pilihan pengelolaan limbah alternatif, penimbunan sampah memiliki dampak lingkungan terbesar. Selain itu, penimbunan ini akan mengakibatkan efek negatif pada kesehatan, kerusakan lahan, dan kontaminasi air tanah. Negara-negara maju bahkan telah melarang penimbunan limbah dengan undang-undang yang ketat..

Teknologi Waste-to Energy (WtE)

Baca juga : Gus Halim: Teknologi Tepat Guna Tingkatkan Produktivitas Desa

Teknologi Waste-to-Energy (WtE) dan daur ulang limbah telah dicanangkan dan diusulkan sebagai solusi potensial untuk masalah TPA yang berkembang. Namun. keberhasilan strategi ini masih sering diperdebatkan. Insinerasi, gasifikasi, pirolisis, penimbunan sampah dan digester anaerob adalah beberapa teknologi WtE yang sering dijumpai. Pemilihan teknologi bergantung pada tipe limbah, properti dan jumlah biomassa, bentuk energi yang diinginkan, ekonomi dan standar lingkungan. Tiap proses atau teknologi yang digunakan memiliki keuntungan dan keterbatasannya masing-masing.

Teknologi WtE sudah diimplementasi di TPST Bantargebang, meskipun dengan kapasitas yang terbatas. Teknologi yang digunakan menggunakan jenis insinerasi yang terletak di pusat TPST Bantargebang dan telah menghasilkan listrik sebesar 783,63 MWh pada tahun 2020. Teknologi ini adalah pembangkit listrik termal dengan uap superkritis yang didorong oleh limbah atau gas metana. Namun, kapasitas listrik yang dihasilkan masih relatif rendah dibandingkan dengan proyeksi potensi limbah menjadi listrik di Jabodetabek yaitu 820,90 GWh pada tahun 2020, berdasarkan perhitungan IPCC oleh Ismangoen et.al.

Berdasarkan hal diatas, status penggunaan teknologi WtE di Jabodetabek masih dalam tahap awal. Melihat dari banyaknya bahan baku limbah di wilayah Jabodetabek, dapat dipastikan bahwa pengembangan teknologi WtE akan segera menjadi sesuatu yang umum di seluruh wilayah ini. Inisiasi teknologi WtE ini juga didukung untuk mendemonstrasikan penggunaan limbah kota untuk energi dengan skala penuh, pengurangan gas rumah kaca, efisiensi sumber daya, pemulihan energi dan pengembangan pekerjaan. 

Penentuan Teknologi WtE Sesuai untuk Area Jabodetabek

Baca juga : Senator Filep Pertanyakan Pengelolaan DBH Migas Bagi Masyarakat Adat Papua

Terdapat beberapa macam proses untuk mengubah sampah menjadi energi. Proses yang umum digunakan adalah konversi termal (insinerasipirolisis, dan gasifikasi), dan non-termal (landfilling dan biodigester). Pemilihan proses bergantung pada tipe, properti dan jumlah biomassa, bentuk energi yang diinginkan, kondisi ekonomi dan standar lingkungan. Tiap proses atau teknologi yang digunakan memiliki keuntungan dan keterbatasannya masing-masing. Limbah kering dengan tingkat kadar air yang rendah lebih cocok diproses dengan proses termal. Untuk limbah basah dengan kadar air tinggi, proses non-termal seperti biodigester dan landfilling lebih cocok digunakan. 

Pemilihan teknologi WtE yang ideal harus mempertimbangkan tidak hanya aspek biaya, kemampuan menghasilkan energi, dan potensi pengurangan sampah, tetapi juga aspek lingkungan di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memilih teknologi pengolahan limbah terbaik yang tersedia yang memenuhi semua kriteria yang diperlukan untuk pengelolaan limbah yang lebih baik. Setiap teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengubah sampah menjadi energi. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan teknologi WtE yang cocok antara lain, tipe limbah yang digunakan, efisiensi, jumlah energi yang dihasilkan, kesiapan teknologi, kapasitas, hasil sampingan, biaya dan polusi yang dihasilkan. 

Aspek lingkungan dan biaya merupakan indikator yang harus diprioritaskan untuk memastikan bahwa teknologi WtE berjalan dengan cara yang ramah lingkungan dengan harga yang wajar. Berdasarkan indikator tersebut, biodigester merupakan solusi paling menarik. Biodigester sangat ramah lingkungan dan murah. Berdasarkan Zaman, biodigester merupakan teknologi WtE yang ramah lingkungan dengan menghasilkan 222 kg CO2  per MWh, jauh dari teknologi lain seperti insinerasi, gasifikasi dan pirolisis yang menghasilkan lebih dari 400 kg COper MWh. Biodigester juga tidak membutuhkan pre-treatment (pengeringan dan pengecilan ukuran) karena bisa memproses limbah dengan kadar air tinggi sehingga hanya membutuhkan biaya yang sedikit dibanding teknologi WtE lain. Penerapan biodigester juga telah didukung oleh pemerintah Indonesia yang berkomitmen untuk meningkatkan penerapan energi terbarukan.

 Daftar Pustaka

Baca juga : Lindungi Anak-anak Dari Kekerasan Di Jagat Maya

Ismangoen MH, Nanda MA, Nelwan LO, Budiastra IW, Seminar KB. 2022. Estimation of energy generation from municipal solid waste in the Jabodetabek Metropolitan Area, Indonesia. International Journal of Environment and Waste Management. https://doi.org/10.1504/ijewm.2022.10034017.

Zaman AU. 2010. Comparative Study of Municipal Solid Waste Treatment Technologies Using Life Cycle Assessment Method. International Journal of Environmental Science & Technology, vol. 7, no. 2, pp. 225-234.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.