Dark/Light Mode

Dr. Joko Santoso

Kemerdekaan, Membaca dan Bangsa Pembelajar

Minggu, 16 Agustus 2020 05:25 WIB
Soekarno dan Hatta, pendiri bangsa ini yang amat gemar membaca (Foto: Istimewa)
Soekarno dan Hatta, pendiri bangsa ini yang amat gemar membaca (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Tindakan besar dimulai dari ide besar. Ide besar dimulai dari banyak membaca. John D. Legge, penulis buku Soekarno: Biografi politik (1972), mengemukakan bahwa karena Soekarno ngenger di ndalem H.O.S. Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam yang terkenal pada masa itu, maka ramailah berkunjung tokoh-tokoh pergerakan nasional. Soekarno tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdialog dengan tokoh-tokoh itu.

Kesenangan Soekarno membaca mengantarkan pada ungkapan pemikir India, Swami Vivakananda, ”Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan.” Ketika kesadaran itu mulai muncul, Soekarno mulai menerapkan apa-apa yang telah dibaca. Soekarno mulai memperbincangkan antara peradaban yang megah dari pikirannya dengan tanah-airnya sendiri yang bobrok. 

Pemikiran ini akhirnya menyadarkan Soekarno menjadi seorang nasionalis yang menyala-nyala dan menyadari bahwa tidak ada alasan bagi anak muda Indonesia untuk menikmati kesenangan, dengan melarikan diri dalam dunia khayal. Kenyataan yang dihadapi oleh Soekarno, negerinya miskin, malang, dan dihinakan. Kesadaran itu pula yang menyebabkan Soekarno mendirikan Tri Kara Darma dan menulis di Oetoesan Hindia, milik Sarekat Islam. Kemudian, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan seolah tak terbendung lagi untuk menggugat kolonialisme dan melawan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka.  

Membaca adalah prasyarat keterdidikan. Robert Farr mengatakan bahwa, "membaca adalah jantungnya pendidikan" (2016). Pendidikan harus dimulai dari menumbuhkan kebiasaan membaca. Begitu pentingnya membaca dalam dunia pendidikan, dahulu lulusan AMS (Algemeene Middelbare School) atau pendidikan menengah umum Hindia Belanda, mewajibkan setiap siswa membaca 25 judul buku hingga lulus. Dampaknya dapat kita lihat pada para tokoh pendiri bangsa yang memiliki kekuatan intelektual seperti tertuang dalam berbagai karya besar mereka. 

Baca juga : Bangkitkan Semangat Kemerdekaan, LPP RRI Gelar Malam Apresiasi Puisi

Karlina Supeli dalam diskusi buku bertajuk Menjadi Bangsa Terdidik mengatakan, makna individu pembelajar menekankan pada proses yang tidak pernah selesai. Pembelajar bermakna lebih luas dari terdidik. Orang kerap merasa sudah selesai belajar, ketika berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Untuk seorang pembelajar proses itu tidak pernah selesai, on going and never ending process. Pernyataan ini memperkuat tesis Soedjatmoko tentang bangsa terdidik, ialah kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk belajar dan keharusan untuk belajar bersama terus-menerus.

Serupa dengan St. Soelarto yang memandang persoalan keterdidikan itu berkaitan dengan cara berpikir bangsa dalam memberikan solusi atas persoalan aktual. Keterdidikan adalah orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam, sehingga paham betul duduk perkara sebuah persoalan (Kompas, 4/2/ 2010). Pendapat ini sangat penting dalam era media sosial yang memenuhi ruang-ruang publik virtual kita, dengan hal remeh-temeh, bahkan meruahnya informasi hoaks yang tak keruan juntrungnya seperti saat ini. 

Agus Rifai, seorang pegiat literasi, memandang peresmian gedung layanan Perpustakaan Nasional oleh Presiden pada 14 September 2017 lalu, yang bertepatan dengan Hari Kunjung Perpustakaan, adalah sebuah penyesuaian momentum sebagai cara pandang Negara terhadap persoalan literasi dan budaya baca yang rendah saat ini sebagai isu bersama (Kompas, 22/9/2017). Masalah literasi dan budaya baca adalah prasyarat bagi bangsa pembelajar. Atau lebih tepatnya ialah bangsa pembaca adalah prasyarat terwujudnya bangsa pembelajar. Agus menggarisbawahi bahwa membangun kecerdasan individu sangat erat kaitannya dengan upaya membangun bangsa pembaca. Bangsa pembaca adalah bangsa yang masyarakatnya menjadikan kegiatan membaca sebagai bagian penting kehidupannya. Karakteristik bangsa pembaca antara lain ialah bebas buta aksara, memiliki budaya baca tinggi, dan mampu menggunakan hasil bacaannya untuk meningkatkan taraf hidup. 

Bangsa Jepang adalah contoh terbaik bangsa pembelajar. Mereka belajar seperti menjalani ritual agama. Membaca dipraktikkan dengan semangat yang nyaris mencapai tingkat fanatisme. Mereka belajar dengan penuh semangat, karena mereka paham betul kegunaannya. Pengetahuan yang unggul, moralitas yang dijunjung tinggi, serta kedisiplinan teguh, memberikan mereka kemajuan dan kesejahteraan. Jepang telah menjadikan kegiatan membaca sebagai gerakan budaya bangsa yang disebut sebagai Tachiyomi, ialah membaca sambil berdiri. Masyarakat Jepang biasa membaca apa pun dan di mana pun tempatnya, termasuk dalam penuh sesaknya kereta bawah tanah di jam-jam kerja. 

Baca juga : Sambut Hari Kemerdekaan, Blibli Dukung UMKM Lokal

Semangat yang sama telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Bung Hatta memiliki banyak gagasan besar, itu karena kecintaannya membaca buku. Dalam buku otobiografinya berjudul Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Hatta menulis, “...biasanya buku-buku yang mengenai mata pelajaran aku pelajari pada malam hari. Buku-buku lainnya, buku roman dan buku tambahan untuk meluaskan pengetahuan, kubaca pada sore hari sesudah pukul 16.00 atau 16.30.”

Masih dalam soal membaca, dalam buku otobiografi ini Bung Hatta muda menceritakaan pertemuannya dengan H. Agus Salim di rumahnya, “Memang, membaca dan mempelajari ada lain,” kata H. Agus Salim. “Tetapi tidak ada bacaan yang hilang dari kepala sama sekali, banyak juga yang tersangkut pada otak, kemudian dapat menjadi dasar pembacaan dan pelajaran terus dalam masalah hidup. Banyak membaca, itulah jalan yang baik untuk menambah pengetahuan dan mengasah kecerdasan. Di luar sekolah tidak sedikit pelajaran yang dapat diperoleh jadi pembantu penyambung yang dipelajari di sekolah…..” Kecintaan Hatta pada membaca sungguh luar biasa, dibuktikan dengan koleksi bukunya yang begitu banyak. Selama 11 tahun di Belanda, saat pulang ke tanah air, Hatta membawa 16 peti bukunya, bahkan berpeti-peti buku itu terus turut serta dengan dirinya, ketika dibuang oleh kolonial Belanda ke Boven Digul juga Banda.  

Menurut teori humanisme, tujuan pembelajaran adalah untuk memanusiakan manusia. Proses pembelajaran dianggap berhasil, jika si pembelajar memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Dalam teori ini, faktor motivasi dan pengalaman emosional dalam peristiwa belajar sangat penting. Tanpa motivasi dan keinginan diri, tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki seorang pembelajar. Dengan demikian, peristiwa membaca bukan hanya sekedar melafalkan rangkaian huruf menjadi kata, rangkaian kata menjadi kalimat, rangkaian kalimat menjadi alinea dan seterusnya. Peristiwa membaca ialah mencerna dan memahami makna teks dan konteksnya. Makna dari peristiwa dan proses membaca pada akhirnya berkaitan dengan permasalahan meningkatkan dan merawat mutu ingatan, memperkaya perbendaharaan pengetahuan, hingga mengembangkan kecakapan dalam menganalisa. 

Oleh karena itu, membaca seharusnya menjadi keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang Indonesia. Seseorang yang punya kemampuan membaca, dengan sendirinya memiliki perangkat sangat penting untuk terus belajar dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan suatu bangsa, akhirnya tidak terlepas dari bagaimana generasi bangsa tersebut membaca.

Baca juga : Sambut Kemerdekaan, Swiss-Belresort Dago Heritage Bandung Gelar Promo

Mari membaca dan Merdeka….! 

Penulis: Kepala Biro Hukum dan Perencanaan, Perpustakaan Nasional

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.