Dark/Light Mode

Memaknai Peristiwa 1927, 1948, 1965

Menakar Kembalinya Komunis

Rabu, 30 September 2020 15:30 WIB
Massa berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI pada 20 Oktober 1965.  [Foto: AP]
Massa berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI pada 20 Oktober 1965. [Foto: AP]

RM.id  Rakyat Merdeka - Jauh menjelang 30 September hingga masuk ke akhir bulan ini, seperti biasa, selalu muncul hiruk-pikuk seputar Gerakan 30 September 1965 ini -demikian awalnya surat kabar dan majalah memberi nama untuk Coup d'état alias kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Kemudian oleh Bung Karno, ia namakan GESTOK atau Gerakan 1 Oktober 1965. Kemudian sampai kini, diabadikan namanya menjadi G.30.S/PKI.

Namun, menggeneralisir gerakan yang pernah dibangun Komunis di era 1920-an, 1948, dan 1965, dengan menyematkan kata “pemberontak” -juga tidak bisa dibenarkan, terutama yang terjadi di tingkat lokal.

Ketika muncul dan bergerak di tahun1920-an, mereka menjadikan komunis sebagai alat untuk menentang kapitalisme dan menuntut Indonesia merdeka dengan cara radikal. Kata “pemberontak” yang pernah melekat pada Peristiwa Silungkang 1927 misalnya, tentu tidak dapat dibenarkan.

Pemberontakan Silungkang atau Pemberontakan Malam Tahun Baru, terjadi pada malam 1 Januari 1927 oleh para pemberontak Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau.

Baca juga : Ini Cerita Bek Persija Jakarta Ryuji Utomo Kembali ke Timnas Indonesia

Siapa yang berontak, dan terhadap siapa? Apakah masa itu sudah ada negara? Bukankah gerakan prematur yang tidak disetujui Tan Malaka itu juga berujung gagal? Dan, hampir rerata yang terlibat dalam peristiwa Silungkang adalah guru dan siswa Sumatra Thawalib Padang Panjang, ada yang haji, dan lainnya. Perlu diingat, Sumatra Thawalib (Pelajar-Pelajar Sumatra‎) adalah salah satu organisasi massa Islam yang paling awal yang ada di Indonesia, karena berdiri pada 15 Januari 1919.

Mereka yang bergerak di Sarekat Rakyat dan PKI pun bahkan umumnya adalah muslim, pernah melaksanakan ibadah haji, dan memahami rukun iman dan Islam (Sufyan, 2017). Pantaskah ujaran ateis juga disematkan pada mereka? Sehingga tentu tidak bijak, menyebut peristiwa yang juga pernah terjadi di Banten sebagai bagian dari usaha “pemberontakan”.

Ketika Peristiwa 1948 membuncah di Madiun melalui usaha Muso untuk membentuk negara Soviet, juga diamini seluruh daerah di Indonesia? Jawabannya tidak.

Di Sumatera Barat sendiri, di bawah kepemimpinan Bachtaruddin Said–mereka menolak ajakan Muso untuk bergabung dan memilih tetap berada di belakang Negara Kesatuan Republik Inndonesia (Propinsi Sumatera Tengah, 1953).

Baca juga : Bamsoet: Hadapi Krisis Global dengan Kembali ke Ekonomi Pancasila

Apakah bisa digeneralisir, bahwa yang terjadi di Madiun juga bisa dipukul rata untuk seluruh wilayah di Indonesia? Tentu saja tidak. Bahkan, pada masa pembentukan Front Pertahanan Nasional (FPN) tahun 1947 sidang yang dipimpin tokoh Komunis tua bernama Haji Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah, memilih HAMKA sebagai ketuanya.

Bahkan pula, guru mengaji HAMKA semasa kecil, murid terbaik Haji Abdul Karim Amrullah, pimpinan Sarekat Rakyat yang dibuang ke Digoel, dan Cowra Australia Barat, itu langsung bersuara lantang, “Saya pilih HAMKA!” (Hamka, 1971).

Pun, memasuki masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), laskar Tentara Merah Indonesia –organ utama perjuangan PKI, turut bergabung menguatkan basis pertahanan di Sumatera Barat, pasca pecahnya Agresi Militer II (Propinsi Sumatera Tengah, 1953). Sehingga dari rangkaian peristiwa 1927 tidaklah layak kata pemberontak itu disematkan, dan 1948 hanya terjadi di Madiun saja.

Pembicaraan kembalinya Komunis di era reformasi, sebenarnya bukan barang baru. Sejak beredarnya buku-buku kiri yang masif di awal reformasi, dan gandrungnya anak-anak muda ingin tahu tentang masa kelam partai yang berlogo Palu Arit itu, menjadi sebab-sebab awal kecurigaan publik, terhadap bangkitnya Komunis di pentas politik nasional.

Baca juga : Mantan Pemain Bas Dewa 19, Erwin Prasetya Meninggal Pagi Ini

Ateis, tidak percaya Tuhan, menghalalkan segala cara, tidak mengakui hak perorangan menjadi trademark untuk partai yang pernah dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit sejak era 1950-an. Format politik PKI memang berubah total di tangan laki-laki kelahiran 30 Juli 1923 di Belitung dan berkampung halaman di Maninjau Sumatera Barat ini.

Aidit membangun kekuatan partai lewat organisasi underbow yang menyokong gerak Komunis di segala lini. Sebut saja Pemuda Rakyat, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan lainnya.

Sejak masa kepemimpinannya, Aidit memang hobi menyerang segala sesuatu yang berseberangan dengannya. Aksi penyerobotan tanah dengan dalih land reform, memunculkan istilah setan desa, serangan terhadap Islam dan pemimpinnya– menjadi sebuah rahasia umum terhadap perilaku politik agitasi dari elite dan massa simpatisan Komunis.

Sampai akhirnya marak terjadi pembunuhan terhadap kiyai, tokoh agama, dan masyarakat. Puncaknya, pembunuhan terhadap para jenderal dan satu orang perwira menengah. Lobang buaya menjadi saksi tragedi berdarah dan kemudian dikenal sebagai peristiwa Gestapu 1965 itu.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.