Dark/Light Mode

Hasil Pemantauan ICW Semester I-2020

Kerugian Akibat Korupsi Mencapai Rp 39 Triliun

Senin, 12 Oktober 2020 07:07 WIB
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan kepada para pelaku korupsi belum maksimal. Ini makin diperparah dengan tidak maksimalnya upaya mengembalikan kerugian negara. 

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya memantau hukuman denda maupun uang pengganti yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. 

Menurutnya, hukuman tambahan ini untuk memberikan efek jera. Sekaligus memulihkan kerugian negara akibat perbuatan korupsi. 

“Namun, temuan itu amat mengecewakan,” kata Kurnia Ramadhana membeberkan hasil pemantauan tren vonis persidangan perkara korupsi semester I tahun 2020. 

“Menjadi pertanyaan penting hari ini, sudah sejauh mana asset recovery dan pemulihan kerugian keuangan negara dilakukan oleh para penegak hukum kita bersama,” Kurnia mempertanyakan.

ICW mencatat, dalam semester I ini total denda yang dijatuhkan hakim kepada pelaku korupsi mencapai Rp 102.985.000.000. Sedangkan uang pengganti sendiri Rp 625.080.425.649, 128.200.000 dolar AS dan 2.364.315 dolar Singapura. 

Jumlah uang pengganti itu masih jauh jika dibandingkan total kerugian keuangan yang harus diderita negara akibat perkara korupsi. 

Baca juga : Anies Cek Langsung Kondisi Jakarta, Kerugian Akibat Demo Ditaksir Rp 25 Miliar

Hasil pemantauan ICW, total kerugian keuangan negara pada semester pertama tahun 2020 mencapai Rp 39.245.372.324.444. 

“Sepintas jumlah uang pengganti di atas terlihat besar. Namun tatkala dibandingkan dengan jumlah total kerugian keuangan negara, maka pidana tambahan tersebut tak sebanding,” nilai Kurnia. 

Dia menghitung, uang pengganti itu hanya sekitar lima persen dari kerugian negara yang muncul akibat korupsi. 

“Yang mampu dipulihkan melalui instrumen Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ucapnya. 

Meski sudah memutuskan menjatuhkan denda dan uang pengganti, hukuman itu kerap tidak dilaksanakan. Salah satu alasannya lantaran harta terpidana korupsi tidak cukup untuk menutup kerugian negara. 

Bahkan, ada terpidana yang memilih menjalani hukuman tambahan ketimbang harus membayar uang pengganti. Terpidana berdalih hartanya tidak cukup. 

Yang mengkhawatirkan, jaksa eksekutor justru memberikan pilihan kepada terpidana: bayar uang pengganti atau jalan pidana tambahan. Akibatnya, terpidana memilih menjalani kurungan lagi sesuai vonis hakim. 

Baca juga : Warganya Hilang, Pengadilan AS Denda Iran Rp 20 Triliun

Menurutnya, perlu ada reformulasi pengenaan hukuman subsider denda maupun uang pengganti. 

“Ini menjadi salah satu persoalan klasik yang tak kunjung terselesaikan,” sebut Kurnia 

Selain itu, perlu pembekalan kepada hakim agar menerapkan financial crime kepada terdakwa korupsi. Penerapan itu bisa membuat efek jera. 

“Pandangan bahwa korupsi itu adalah financial crime, jadi tidak cukup penjara tapi uang yang Kerugian Akibat Korupsi Mencapai Rp 39 Triliun telah dirampas harus maksimal kembali ke kantong atau ke kas negara,” tutup Kurnia. 

Pada semester pertama 2020, ada 919 perkara korupsi yang diadili. Hasil pemantauan ICW, perkara yang melibatkan kerugian keuangan negara 760, suap menyuap 112 perkara, pemerasan 32 perkara, tindak pidana pencucian uang 13 perkara serta penggelapan dalam jabatan 2 perkara. 

Kurnia juga menyoroti pemidanaan terdakwa pelanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang lebih rendah ketimbang terdakwa pelanggar pasal 2. 

Padahal, Pasal 3 jelas harus memperoleh pidana paling berat karena terdapat unsur penyelenggara negara di dalamnya. 

Baca juga : Tahun Depan, Kemenperin Dapat Pagu Anggaran Rp 3,18 Triliun

“Subjek hukum Pasal 3 merupakan penyelenggara negara, yang harusnya diberikan pemberatan,” ujarnya. 

Pemberian pidana rendah bagi pelanggar Pasal 3, dicurigai ajang negosiasi antara terdakwa dengan penuntut umum. 

“Potret nyata terlihat dalam penuntutan, dalam hasil pemantauan ini terlihat penuntut mayoritas menggunakan Pasal 3 ketimbang Pasal 2,” kata Kurnia. 

Ia membeberkan, penuntut umum menerapkan Pasal 3 kepada 460 terdakwa. Sedangkan Pasal 2 terhadap 292 terdakwa. 

“Bukan tidak mungkin ini akan jadi bancakan korupsi oleh penuntut umum untuk dapat menentukan pasal dalam tuntutan,” Kurnia curiga. [GPG]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.