Dark/Light Mode

Masyarakat Kota dan Kesakitan Sosial

Senin, 26 April 2021 16:01 WIB
Dr. Tantan Hermansah
Dr. Tantan Hermansah

 Sebelumnya 
Namun jika memang benar ini yang terjadi, dan kerap terjadi lagi, sungguh kita sedang memasuki sebuah realitas dunia yang semakin aneh dan miris. Hal ini dikarenakan keadaban kita sebagai spesies yang beridentitas sebagai manusia, dengan serta merta diluruhkan sedemikian rupa. Semua dikorbankan demi sebuah citra yang bernama popularitas.

Atau bisa jadi, “koboi-koboi” ini adalah martir yang sudah kehilangan rasa kesakitan sosial.

Baca juga : Pesantren Kilat Bisa Bangun Literasi Digital Pancasila

Dalam dunia yang semakin aneh, di mana kebajikan sejati dibolak-balik dalam visualisasi yang nyata, perilaku negatif bisa berbanding terbalik. Contoh: koruptor kakap ditampilkan dengan segala ke-wah-an dan penghormatan. Sementara ada seseorang yang tetap dijatuhi hukuman, karena mencuri sebatang singkong karena kelaparan. Semua peristiwa yang demikian telanjang itu demikian mengiris nalar kebenaran kita.

Di situlah cikal bakal “kesakitan sosial” muncul. Dari tadinya hanya orang per orang, atau satu persatu. Kemudian muncul di sana-sini. Sebab mereka kemudian seperti mendapatkan sambutan dalam bentuk keriuhan. Akhirnya orang pun ramai-ramai mengungkapkan sikap destruktifnya tanpa lagi memiliki rasa malu atau sejenisnya.

Baca juga : Kamus Sejarah Tak Muat Tokoh NU, Kiai Said: Bukan Salah Nadiem!

Kita juga mengetahui bahwa mereka yang menderita kesakitan sosial, seperti “koboi-koboi” itu, memang kemudian akhirnya diberikan tindakan hukum. Namun keriuhan publik yang menyambutnya, membuat adanya efek jera yang diharapkan dari suatu tindakan hukum tidak seperti yang diharapkan.

Sebelumnya muncul yang sok jagoan itu pengendara mobil mewah, lalu kemudian pemilik benda lain. Mereka menunjukkan kepada publik, misalnya, sebuah pistol —sebuah senjata khas yang hanya boleh dipergunakan secara khusus oleh entitas terbatas— dalam visualisasi ingin menampilkan penguasaan atas suatu kuasa tertentu.

Baca juga : Kiprah Kartini KAI, Semangat Majukan Kereta Api Indonesia

Tentu saja, secara akal budi perilaku ‘kesakitan sosial’ itu tidak terlalu ada hubungan antara kepemilikan kendaraan dan benda lain. Sebab ujungnya adalah faktor tunggal manusianya. Namun jika kita membaca dari perspektif lain, fenomena koboi jalanan yang merupakan refleksi dari kesakitan sosial itu bisa dilihat sebagai cerminan dari keadaan berikut:

Pertama, ada sebagian orang yang kehidupannya dipengaruhi oleh, atau tergantung kepada, benda-benda yang dimiliki, dikuasai, atau melekat kepadanya. Kalangan ini menganggap bahwa benda-benda tersebut bisa membuat dia mengalami peningkatan sesuatu, seperti kepercayaan diri, penghormatan dan sebagainya. Akibatnya mereka akan menginvestasikan waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya untuk memilikinya, dan kemudian diaktualisasikan agar mendapatkan manfaat (utilitas) dari benda tersebut.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.