Dark/Light Mode

Di Mana Kain Kafanku?

Kamis, 4 Juli 2019 08:03 WIB
Ngopi - Di Mana Kain Kafanku?
Catatan :
ERWIN TAMSAL

RM.id  Rakyat Merdeka - Jumat pukul 2.30 pagi, dua hari sebelum Ramadan, saya menerima telepon dari bude di wilayah Tangerang Selatan. Di ujung telepon, terdengar suara lirih dan isak bude. Kakak ibu mertua saya ini mengabarkan, Om Arlan, suaminya, sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.

Meninggal karena serangan jantung. “Innalillahi wainna ilaihi rojiun,” ucapku sambil meneteskan air mata. Hatiku tersentak. Kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak. Om Arlan tak punya riwayat sakit parah. Dia sehat wala­fiat. Gaya hidup sehat. Segar bugar. Suka humor. Usia baru 62 tahun. Ya, itulah kuasa Alloh. Kita tidak tahu, ajal menjemput.

“Yang ikhlas. Yang sabar bude. Doakan saja Om Arlan husnul khotimah,” hiburku. “Mohon dimaafkan segala kesalahan om,” hatur bude terbata-bata. Saya lantas bersegera takziah, sekaligus ikut bantu mengurus pemakaman. Ini lantaran dua anak laki-laki Om Arlan kerja di luar kota. Satu di Surabaya. Satu lagi di Kalimantan.

Baca juga : Bisnis Krisan Kian Merekah

Sekitar pukul 3 pagi, saya bangunkan istri dan putra sulung, Muhammad Reza untuk segera ke rumah bude. Reza berangkat lebih dulu naik motor. Saya, istri dan tiga anak nyusul. Tak banyak terucap selama di perjalanan menuju rumah bude. Banyak diam. Merasa kehilangan. Air mata sesekali menetes. Mengenang semasa hidup Om Arlan. Dia selalu memotivasi. Bak ayah. Istri pun membisu. Tanpa suara.

Setengah jam perjalanan, sampailah kami. Di depan rumah bude, beberapa tetangga sudah berkumpul. Ada duduk di kursi. Di teras. Mereka sedang khusuk membaca Yassin. Saya pun ikut. Hingga azan Subuh. Setelah Subuh, saya bersama tetangga menyiapkan perlengkapan pemakaman. Karena tinggal di perkampungan, perlengkapan jenazah Om Arlan harus beli. Dipersiapkan sendiri.

Mulai dari kapas, kain kafan, keranda, perlengkapan pemandian jenazah dan lainnya. Ini beda di kompleks tempat tinggal saya. Ada pengurus atau dewan masjid sudah siapkan semua perlengkapan jenazah. Syaratnya, kita harus daftar. Iuran 10 ribu per bulan. Jika ada keluarga meninggal, kita terima beres. Semua sudah disiapkan. Tapi saya belum daftar. Masih ngeri. Masih takut mati. Saya masih pengen hidup.

Baca juga : Silva Mau Ikuti Jejak Karier Zidane

Kembali ke bude, saya lalu berinisiatif mencari kain kafan. Bersama istri dan anak bungsu, saya keliling di kawasan Pamulang. Hampir dua jam muter-muter, nggak ketemu kain kafan. Sekitar pukul 7 pagi, saya putuskan beli kain kafan di pasar, dekat Karawaci, Tangerang. Saya tahu tokonya. Karena pernah beli kain kafan untuk almarhum bapak saya.

Di perjalanan ke Karawaci, bude telepon. Mengabarkan kafannya sudah ada. Tetangga meminjamkan. Tetangga bude sudah stok kain kafan. Buat persiapan. Di komplek perumahan teman saya, ibu-ibu pengajian juga sudah pada beli kain kafan. Ya, sama, buat persiapan juga.

Akhirnya saya batalkan ke pasar. Saya balik arah lagi. Saat menuju rumah bude, istri bilang, susah-susah gampang cari kafan. Kalau nggak dicari, ada. Dicari, susah. Ya, bisa benarnya juga. Lalu saya membayangkan dan bertanya dalam hati. Di manakah kain kafan buat membungkus ku nanti?

Baca juga : Romy Raja Ngeluh

Saya tidak tahu. Entah dimana. Semua misteri. Bisa saja, kain kafan itu masih berbentuk kapas. Atau sedang dipintal petani kapas. Berada ditumpukan gudang. Dijual di toko. Berada di suatu daerah. Bisa juga, mayat saya membusuk tanpa dibungkus kain kafan. Na’udzubillahimindzalik. Jangan sampai. Semoga husnul khotimah. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :